"A, saya numpang duduk lagi bentar ya?"
"Sok atuh, Neng."
Saya baru saja menyelesaikan berbelanja di toko Anda di Balubur, sebuah toko yang menyediakan ATK. Sebelumnya, saya berbelanja beberapa barang di Ganesa Stationary. Jadi, saya mau menata belanjaan dulu di keresek hitam biar saya gak kerepotan waktu menentengnya kembali ke Salman. Saya sedang berbelanja kebutuhan administrasi untuk Divisi Pelatihan.
Saya membuka bungkus dari tempat pensil plastik dan map Inter-X. Alat tulis yang saya beli di toko Anda saya masukkan ke tempat pensil itu. Penjaga toko yang barusan melayani saya turut memperhatikan kegiatan saya membongkar belanjaan di meja. Lalu dia mengambil kemasan dari tempat pensil itu. Ada label harga berlogo Ganesa Stationary. Lalu dia nyeletuk.
"Wah, murah bener, Neng, harganya," kata dia sambil menunjukkan kemasan berlabel harga itu. Di situ tertulis Rp 7,500.-. Lalu penjaga itu merogoh lemari di bawahnya dan mengeluarkan tempat pensil serupa. Di kemasannya tertulis Rp 5,000.-. Dueng!
"Walah, ternyata lebih murah. Saya pikir di Ganesa lebih murah," kata saya sembari menanyakan beberapa harga barang yang saya sudah beli di GS. Ternyata di toko Anda harga barang-barangnya lebih murah, semuanya. Saya jadi menyesal. Bayangkan saja, selisih lima ratus perak sampai seribu mungkin masih bisa ditolerir. Tapi 2500?!
"Yah, Neng, wajar lah. Kan di sana (GS, maksudnya) tempatnya eksklusif. Jadi harganya juga eksklusif."
Saya tersenyum simpul saja. Saya kadang berbelanja ke GS karena beberapa (dan ternyata hanya sedikit saja) barang harganya lebih murah daripada di Balubur. Lagipula, kadang ada barang yang cuma ada di GS. Barang yang lebih murah harganya itu adalah tinta printer Acaciana dan kertas 1 rim. Harga barang yang lain lebih mahal. Fuuuuuh..., lain kali saya akan berbelanja ke Balubur saja dulu. Kalo yang dicari gak ada, baru ke GS.
Bukannya saya gak tahu kalau di GS itu harganya lebih mahal. Tapi kadang saya suka malas berjalan lewat pasar ke deretan toko ATK di Balubur. Yah, tapi sekarang saya harus lebih mementingkan selisih harga yang jauh banget itu kan?
Ternyata dalam berbelanja kita mesti cerdas. Oh ya, satu lagi: sabar. Sabar untukmelakukan survey tempat-tempat belanja yang mungkin akan memberikan harga paling kompetitif buat pembeli, sabar dalam muter-muter waktu survey, dan sabar untuk tidak 'kalap' saat belanja. Kalau soal 'kalap', salah satu solusi yang paling ampuh adalah dengan mendaftar dulu barang yang hendak dibeli dan tidak membawa uang berlebih saat belanja. Terus kalau soal kesabaran dalam survey, itu tergantung dari seberapa penting kata 'hemat' bagi kita. Kita berhemat bukan berarti kita tidak punya uang atau miskin atau semacamnya. Tapi 'hemat' di sini lebih diartikan sebagai kecermatan dalam mengelola uang/harta, sehingga manfaatnya benar-benar maksimal.
Pernah saya berbelanja celana putih longgar di Gazibu hari Minggu. Karena tempat itu luas banget (yah, Anda tahu lah), saya langsung bertanya harga celana semacam itu di tempat pertama saya melihatnya. Si Penjual menawarkan harga 25 ribu ditambah bumbu-bumbu bahwa dialah pemasok dari barang itu ke seluruh penjual di Gazibu. Oke, saya tidak terlalu percaya. Tapi toh saya tawar. Tapi kemudian Ibu itu memberi harga 20 ribu. Saya setuju karena saya pikir itu harga yang pantas. Lagipula, saya tidak tahu harga pasaran.
Setelah saya membeli celana itu, saya berjalan ke arah deretan angkot Ciwastra yang berwarna coklat. Lagi berjalan menuju salah satu angkot, tiba-tiba saya melihat ada yang sedang mengobral celana dan CELANA-CELANA YANG DIJUALNYA PERSIS SEPERTI YANG SAYA BARU SAJA BELI. Tebak berapa celana-celana itu diobral? 25 ribu dua potong! Aaaaaaaaaaaaargh!
Aaargh! Kenapa saya gak jalan ke situ dari tadi? Pas saya memperhatikan lebih seksama, bahan dari celana yang dijual lebih variatif dan bagus, meski warnanya hanya hitam dan putih. Yah, celana sudah dibeli, uang saya sudah keluar 20 ribu. Hhhhhh, sudahlah...
Sekarang, kalau saya memerlukan sesuatu dan berencana untuk mencarinya di Gazibu hari Minggu, saya akan datang pagi-pagi sekali dan survey mengelilingi Gazibu. Toh tidak banyak yang saya cari, jadi saya hanya melihat-lihat sekilas saja barang-barang lainnya. Apalagi masih pagi, jam enam lewat. Saya masih bisa berjalan dengan leluasa di Gazibu, tanpa terhambat oleh lautan manusia yang datang ke sana.
Yah, hikmah pengalaman saya sederhana: dalam berbelanja pun kita harus cerdas. Gak cuma tahu harga atau tahu tempat, tapi kita juga harus cermat. Ya cermat memilih, cermat menentukan prioritas. Terutama cermat dalam mencari tempat yang menjual barang yang sama dengan harga yang jauh lebih murah.
Oke, dua pengalaman berbelanja sudah membuat saya kapok untuk malas menyurvey harga barang. Lumayan lho selisih harga 2,500 untuk tempat pensil dan 7,500 untuk celana. Udah bisa beli makan siang dengan uang segitu. Atau mungkin untuk digunakan bagi hal lainnya. Lumayan banget deh. Apalagi saya mahasiswa yang menilai guna uang 7,500 itu tinggi.
Saya berharap, setelah membaca pengalaman saya, semoga Anda tidak segan untuk survey dan mencari tempat yang menjual dengan harga lebih murah. Ok?
Tuesday, February 27, 2007
Tuesday, February 20, 2007
Cacing-cacing di Musim Hujan
Saya melangkahinya dengan hati-hati. Mayat mereka hampir gak bisa dikenali lagi, termutilasi, terkoyak, hancur hingga hampir gak berbentuk. Dengan seksama saya memeriksa mayat-mayat itu. Ekspresi prihatin gak bisa saya simpan. Jumlah mereka gak sedikit. Banyak sekali. Terutama di musim hujan seperti belakangan ini. Dan terutama sekali ketika hujan turun.
Mereka mencoba untuk menyelamatkan diri dari banjir yang melanda tanah tempat tinggal mereka. Hujan yang turun dengan deras telah menyebabkan kadar air meningkat tajam, membuat lapisan teratas tanah gak ubahnya sebuah danau besar. Dingin, gelap, lembab. Liang-liang yang tadinya hangat dan nyaman, tiba-tiba menjadi ancaman besar. Merekapun melarikan diri.
Tapi apa daya. Dalam upaya pelariannya, mereka terbunuh dengan kejam. Kaki-kaki tak bermata yang lalu-lalang di sepanjang koridor Aula Barat-Sipil. Akibatnya, tak sedikit korban yang berjatuhan. Gak jarang saya menjumpai salah satu dari pelarian yang sudah termutilasi itu sedang terseok-seok menyeret tubuhnya, mencoba mencapai tempat berlindung. Tapi tubuh yang sudah lemah itu tidak punya sisa daya lagi. Matilah dia di tengah pandangan tak peduli atau pekikan jijik.
Cacing-cacing itu yang sedang saya bicarakan. Saban kali hujan, mereka akan keluar dari kegelapan tanah menuju tempat-tempat tinggi yang kering, demi sebuah kelangsungan hidup. Naluri yang membawa mereka ke atas permukaan tanah. Tapi naluri itu bisa salah. Mayat-mayat cacing itu telah membuktikan kalau di permukaan tanah, mereka tidak menemukan keselamatan yang diharapkan.
Kadang, kalau saya lewat Aula barat dan menemui salah satu dari mahluk mungil itu (yang diameternya bisa sebesar jari kelingking orang dewasa kadang), saya akan ngambil daun atau ranting atau apapun yang bisa saya gunakan untuk mengangkat tubuhnya. Kemudian saya meminggirkannya ke tepian jalan atau kemanapun yang menurut saya aman bagi mereka. Hanya itu ikhtiar maksimal yang bisa saya lakukan untuk mereka. Dan itu sudah cukup. Hanya setiap kali saya lewat Aula barat dan pas ada cacingnya. Bisa mati saya kalau saya tak hentinya memikirkan cacing-cacing di seantero Bandung yang keluar-dari-tanah-agar-terhindar-dari-banjir-tapi-malah-terinjak. Gak usah deh. Cukup di tempat yang bisa saya jangkau aja.
Ah, tapi dengan demikian saya udah lega. Saya udah melakukan apa yang bisa saya lakukan. Alhamdulillah saya belum pernah (dan tidak berharap untuk melakukannya) menginjak cacing yang sedang berupaya menyelamatkan diri. Sungguh, hati saya pedih kalau saya udah nyebabin kematian salah satu dari mereka, meski saya gak sengaja.
Saya kadang gak habis pikir dengan orang yang nginjek cacing-cacing itu. Kehadiran cacing-cacing itu tentu mencolok mata karena warnanya beda banget dari aspal atau ubin. Yah, bisa jadi mereka memang lagi sibuk berpikir jadi gak lihat jalan yang sedang dilewati. Lumrah. Tapi..., tidakkah mereka punya semacam kepedulian atau kesensitifan? Please deh, tega bener!
Terus terang, cacing-cacing itu bisa keinjek karena yang nginjek kurang (atau malah enggak) peduli dengan hal-hal yang jauh ‘lebih kecil’ darinya. Entah apa yang dipedulikannya. Urusan negara atau hidup-mati mungkin. Tapi kalau urusan itu lebih penting daripada kehidupan mahluk lain, sampai nyawa mahluk lain harus hilang, itu sama saja dengan:nol besar.
Entahlah. Saya pikir kalau kita, manusia, sebagai mahluk yang diberi anugerah akal, seharusnya memiliki kesadaran lebih tinggi dari mahluk-mahluk ‘rendahan’ semacam cacing, yang baru sadar dengan kehadiran ‘yang lain’ kalau bersinggungan dengan tubuhnya. Coba aja kita teriak-teriak di atas cacing atau melambai-lambai, cacing itu akan cuek bebek. Tapi kalau kita sentuh, baru dia bereaksi. Itu apalagi kalau bukan bukti bahwa cacing lebih ‘rendah’ dari kita? Jadi, untuk mengetahui keberadaan ‘yang lain’ saja sangat minim inderanya, bagaimana dia mau memikirkan jalur yang aman ketika dia lewat? Nah, kita sebagai manusia seharusnya peka terhadap kekurangan cacing itu. Maksudnya, kalau kita memang menghargai kehidupan (kita), kenapa kita gak menghargai hidup si Cacing yang juga punya hak untuk terus hidup? Pikiran saya yang pesimis malah lebih tajam lagi pertanyaannya: jangan-jangan kita hanya peduli pada hidup kita, enggak pada hidup orang lain, apalagi hidup dari mahluk ‘rendahan’? Jangan-jangan kita mahluk yang super-duper egois?
Duh, bukannya mau nyalahin siapa-siapa sih. Lagian siapa yang (sengaja-gak sengaja) nginjek, saya gak tau. Tapi melihat jasad-jasad cacing itu, saya trenyuh. Kasihan mereka. Jumlah mereka mungkin lebih banyak dari jumlah manusia, tapi tetap saja perlakuan yang mereka terima bukan perlakuan yang pantas. Gak tegalah saya.
Pesan moral:
Hal-hal kecil yang (kita anggap) tidak signifikan sebenarnya sangat signifikan. Kita hanya perlu waktu sejenak untuk memikirkan seberapa penting hal itu untuk kita. Bukan hanya sebatas cacing, tapi bisa jadi sebuah keadaan atau orang lain yang kita anggap ‘kecil’ sebenarnya berarti sangat besar. Kitanya aja yang mungkin gak sadar. Kalau hal itu udah dipikirin sebentar, lalu dipikirin lagi di lain waktu, dan kemudian kita mendapati hal itu tidak signifikan, mungkin emang gak signifikan juga. Jadi jangan maksa, hehehe...
Mereka mencoba untuk menyelamatkan diri dari banjir yang melanda tanah tempat tinggal mereka. Hujan yang turun dengan deras telah menyebabkan kadar air meningkat tajam, membuat lapisan teratas tanah gak ubahnya sebuah danau besar. Dingin, gelap, lembab. Liang-liang yang tadinya hangat dan nyaman, tiba-tiba menjadi ancaman besar. Merekapun melarikan diri.
Tapi apa daya. Dalam upaya pelariannya, mereka terbunuh dengan kejam. Kaki-kaki tak bermata yang lalu-lalang di sepanjang koridor Aula Barat-Sipil. Akibatnya, tak sedikit korban yang berjatuhan. Gak jarang saya menjumpai salah satu dari pelarian yang sudah termutilasi itu sedang terseok-seok menyeret tubuhnya, mencoba mencapai tempat berlindung. Tapi tubuh yang sudah lemah itu tidak punya sisa daya lagi. Matilah dia di tengah pandangan tak peduli atau pekikan jijik.
Cacing-cacing itu yang sedang saya bicarakan. Saban kali hujan, mereka akan keluar dari kegelapan tanah menuju tempat-tempat tinggi yang kering, demi sebuah kelangsungan hidup. Naluri yang membawa mereka ke atas permukaan tanah. Tapi naluri itu bisa salah. Mayat-mayat cacing itu telah membuktikan kalau di permukaan tanah, mereka tidak menemukan keselamatan yang diharapkan.
Kadang, kalau saya lewat Aula barat dan menemui salah satu dari mahluk mungil itu (yang diameternya bisa sebesar jari kelingking orang dewasa kadang), saya akan ngambil daun atau ranting atau apapun yang bisa saya gunakan untuk mengangkat tubuhnya. Kemudian saya meminggirkannya ke tepian jalan atau kemanapun yang menurut saya aman bagi mereka. Hanya itu ikhtiar maksimal yang bisa saya lakukan untuk mereka. Dan itu sudah cukup. Hanya setiap kali saya lewat Aula barat dan pas ada cacingnya. Bisa mati saya kalau saya tak hentinya memikirkan cacing-cacing di seantero Bandung yang keluar-dari-tanah-agar-terhindar-dari-banjir-tapi-malah-terinjak. Gak usah deh. Cukup di tempat yang bisa saya jangkau aja.
Ah, tapi dengan demikian saya udah lega. Saya udah melakukan apa yang bisa saya lakukan. Alhamdulillah saya belum pernah (dan tidak berharap untuk melakukannya) menginjak cacing yang sedang berupaya menyelamatkan diri. Sungguh, hati saya pedih kalau saya udah nyebabin kematian salah satu dari mereka, meski saya gak sengaja.
Saya kadang gak habis pikir dengan orang yang nginjek cacing-cacing itu. Kehadiran cacing-cacing itu tentu mencolok mata karena warnanya beda banget dari aspal atau ubin. Yah, bisa jadi mereka memang lagi sibuk berpikir jadi gak lihat jalan yang sedang dilewati. Lumrah. Tapi..., tidakkah mereka punya semacam kepedulian atau kesensitifan? Please deh, tega bener!
Terus terang, cacing-cacing itu bisa keinjek karena yang nginjek kurang (atau malah enggak) peduli dengan hal-hal yang jauh ‘lebih kecil’ darinya. Entah apa yang dipedulikannya. Urusan negara atau hidup-mati mungkin. Tapi kalau urusan itu lebih penting daripada kehidupan mahluk lain, sampai nyawa mahluk lain harus hilang, itu sama saja dengan:nol besar.
Entahlah. Saya pikir kalau kita, manusia, sebagai mahluk yang diberi anugerah akal, seharusnya memiliki kesadaran lebih tinggi dari mahluk-mahluk ‘rendahan’ semacam cacing, yang baru sadar dengan kehadiran ‘yang lain’ kalau bersinggungan dengan tubuhnya. Coba aja kita teriak-teriak di atas cacing atau melambai-lambai, cacing itu akan cuek bebek. Tapi kalau kita sentuh, baru dia bereaksi. Itu apalagi kalau bukan bukti bahwa cacing lebih ‘rendah’ dari kita? Jadi, untuk mengetahui keberadaan ‘yang lain’ saja sangat minim inderanya, bagaimana dia mau memikirkan jalur yang aman ketika dia lewat? Nah, kita sebagai manusia seharusnya peka terhadap kekurangan cacing itu. Maksudnya, kalau kita memang menghargai kehidupan (kita), kenapa kita gak menghargai hidup si Cacing yang juga punya hak untuk terus hidup? Pikiran saya yang pesimis malah lebih tajam lagi pertanyaannya: jangan-jangan kita hanya peduli pada hidup kita, enggak pada hidup orang lain, apalagi hidup dari mahluk ‘rendahan’? Jangan-jangan kita mahluk yang super-duper egois?
Duh, bukannya mau nyalahin siapa-siapa sih. Lagian siapa yang (sengaja-gak sengaja) nginjek, saya gak tau. Tapi melihat jasad-jasad cacing itu, saya trenyuh. Kasihan mereka. Jumlah mereka mungkin lebih banyak dari jumlah manusia, tapi tetap saja perlakuan yang mereka terima bukan perlakuan yang pantas. Gak tegalah saya.
Pesan moral:
Hal-hal kecil yang (kita anggap) tidak signifikan sebenarnya sangat signifikan. Kita hanya perlu waktu sejenak untuk memikirkan seberapa penting hal itu untuk kita. Bukan hanya sebatas cacing, tapi bisa jadi sebuah keadaan atau orang lain yang kita anggap ‘kecil’ sebenarnya berarti sangat besar. Kitanya aja yang mungkin gak sadar. Kalau hal itu udah dipikirin sebentar, lalu dipikirin lagi di lain waktu, dan kemudian kita mendapati hal itu tidak signifikan, mungkin emang gak signifikan juga. Jadi jangan maksa, hehehe...
Subscribe to:
Posts (Atom)