Wednesday, January 03, 2007

Saat Ku Pulang

Kau tahu kenapa kita merindu?

Karena kita terpisah darinya (yang kita rindu)

Maka, kini...

Aku tidak ingin merasakan rindu itu lagi

(Karena aku tidak ingin berpisah dengannya lagi)


Teman saya mengatakan itu pada saya satu hari. Sebuah ungkapan tentang kerinduan yang dia buat, sebagai ekspresi dari rindu yang dia pernah rasakan.


Entah bagaimana, saya ingat kata-katanya itu ketika saya mengenang kembali kepulangan saya ke rumah setelah empat bulan lebih tidak pulang. Saat itu saya sedang jenuh-jenuhnya dengan segala rutinitas kuliah dan aktivitas di mesjid Salman. Lama jauh dari rumah, saya seakan terlepas dari akar saya, kehilangan hubungan dengan masa lalu dan keluarga. Sementara itu, pada saat yang sama, masa depan bagaikan air yang hendak digenggam namun selalu lolos dari sela-sela jemari. Saya terjebak pada keabadian masa kini yang tiada habisnya. Saya kehilangan arah.


Menjelang Ramadhan 1427 H, kesempatan untuk pulang datang. Awalnya tidak ada niatan untuk pulang. Tapi perkataan seorang teman tentang rencananya untuk pulang memberi saya ilham. Segera saya batalkan keikutsertaan saya pada pelatihan yang diadakan IOM dan WRM ITB. Waktu yang hanya dua hari di akhir pekan itu saya manfaatkan. Saya pak semua kebutuhan dan tas. Sabtu tanggal 23 September, jam enam pagi, saya berangkat dengan langkah mantap.


Dan akhirnya saya menjumpai tempat saya pulang. Masih seperti sebelumnya, tidak berubah. Sebuah hunian yang tenang, sederhana, teduh, tidak mencolok, yang ada tepat di ujung jalan Gelombang dan memiliki nomor paling buncit. Saya masuk setelah sebelumnya mengucapkan salam. Saya pun disambut oleh senyum dan tanya tentang kabar. Saya segera menyapa, tertawa, bercerita, bahkan sebelum saya sempat duduk. Ada keponakan (anak sepupu) yang sedang lucu-lucunya, yang kemudian dengan sedikit bingung mencoba untuk mengingat saya. Tak lama dia tertawa karena telah ingat Tantenya. Dia dengan ceria bercerita dan kemudian meneliti tas yang saya bawa dengan penuh rasa ingin tahu. Ada adik bungsu saya yang sebentar lagi akan ke Lampung karena dia akan menjalani masa SMU di sana. Saya pulang karena dia juga: mencoba untuk bertemu sebelum dia ke Lampung karena mungkin saja saya tidak akan melihatnya dalam waktu yang lama.


Setelah tenang dan beristirahat, saya mencoba untuk menikmati masa-masa singkat di rumah. Dalam keheningan siang yang gerah khas Jakarta, saya duduk di sofa sambil menatap langit-langit yang rendah. Yang lain sedang tidur siang. Ah, tidak banyak berubah. Waktu berjalan dengan lambat bagaikan arus air yang berada di pinggir sungai. Rutinitas rumah tangga, bangun sebelum subuh, memasak di pagi hari, makan siang, istirahat siang, bangun lagi untuk solat Asar, bebersih rumah di sore hari, magrib, makan malam, isya, menonton TV atau membaca atau mengaji, bercengkerama dengan keluarga. Semua adalah rutinitas juga. Namun begitu berbeda dengan yang saya rasakan di Bandung. Saat di Bandung saya merasa waktu selalu berlari dan mengejek saat kita tertinggal barang sedikit saja. Dunia penuh hiruk-pikuk perubahan. Saya merasa telah banyak berubah. Sementara rumah tidak banyak berubah.


Saya memang jarang pulang semenjak saya kuliah di Bandung. Di tahun pertama dan kedua, saya hanya pulang paling banyak tiga kali setahun. Padahal jarak Bandung-Jakarta tidak sejauh Bandung-Lampung. Kemudian ketika tekanan hidup makin tinggi saya rasakan, penyegaran menjadi perlu untuk dilakukan. Dan saya merasa segar kembali ketika bis Primajasa membawa saya melewati tol semakin dekat ke Priok. Saya harus sering pulang.


Ada lagi hal lain. Saya kuliah di Bandung ketika adik perempuan saya masih kelas tiga SMP. Kami bukannya tidak akrab. Hubungan saya dan adik-adik dekat dan baik. Kami saling mengerti satu sama lain. Khusus dengan adik perempuan saya, mungkin karena kami sama-sama perempuan, kami lebih dekat. Sejak kuliah, otomatis saya tidak banyak berinteraksi dengan dia karena jarang pulang dan menelpon hanya sesekali setiap dua bulan. Artinya, saya tidak banyak mengikuti perkembangan dia saat beranjak dewasa.


Kini dia berumur 18 tahun. Baru lulus dari Sekolah Menengah Farmasi, dan sekarang sudah bekerja di apotek RS PMC pelabuhan Tanjung Priok. Sudah bergaji dia. Kalah deh kakaknya. Semenjak saya sering pulang di tahun keempat dan kelima saya kuliah, saya mendapati kalau saya ternyata tidak banyak tahu tentang adik saya. Bukannya saya tidak mengenali dia sama sekali. Yang saya maksud adalah baru belakangan saja saya melihat adik saya dari kacamata sesama orang yang dewasa. Benar-benar baru melihatnya dengan cermat kalau diapun dapat menjadi dewasa yang kemudian bisa menjadi layaknya sahabat karib di sekolah.


Saya juga baru tahu kalau saya begitu berarti bagi dia.


Bagaimana saya mengetahuinya? Itu terlihat dari sikap dia setiap kali saya pulang. Dalam kesempatan yang singkat itu, dia selalu, ya, selalu, mengajak saya untuk pergi jalan-jalan, entah itu sekedar cuci mata ke ITC Cempaka Mas, Gramedia, atau sekedar jalan-jalan ke Indomaret dan tukang bakso di dekat jalan besar. Pokoknya dia ingin memanfaatkan waktu berdua dengan saya. Saya terenyuh. Saya yang sebelumnya tidak pernah ‘memandang’ dia sebagai sesuatu yang penting luar biasa, hanya melihat status ‘adik’ yang berbeda umur sehingga dunianya tidak nyambung, merasa tersanjung. Ternyata saya disayang oleh adik saya. Itu mengejutkan. Itu luar biasa. Saat saya coba ingat-ingat pengalaman masa kecil, saya hanya teringat kalau saya bukanlah kakak yang baik yang mau mengalah dan sayang pada adik. Namun sikap dia selagi saya pulang dan testimony dia di Friendster membuktikan sebaliknya.


Di lain kesempatan, dia bahkan merajuk sedikit lewat telepon ketika saya katakan kalau saya tidak bisa pulang. Kapan dong, tanyanya? Saya tidak bisa menjanjikan apa-apa waktu itu. Tapi kini saya berusaha keras untuk sesering mungkin pulang ke rumah dan memperpanjang masa pulang saya. Kalau saya hanya dua-tiga hari, dia akan protes karena saya terlalu sebentar pulangnya. Tapi tugas dan kuliah tidak bisa menunggu. Dengan berat hati dia melepas saya setelah berpesan ini-itu.


Pulang. Pulang ternyata obat mujarab bagi saya untuk mengatasi kejenuhan dan kebimbangan hati. Pulang juga membawa sejuta warna dan rasa yang manis di jiwa. Meski sesekali dihiasi oleh perselisihan dengan orangtua atau adik, saya tidak kapok untuk pulang. Karena rumah adalah tempat kita akan kembali pada akar kita, kembali pada jati diri kita.


17 Desember 2006

Ketika saya memberitahukan kalau insya Allah saya hendak pulang pada tanggal 25 Desember, selepas menghadiri walimahan teman di Bekasi, dia mengirim pesan:


Ci, datengnya g bisa lebih awal y? Soalny stlh tgl 25 aq msk pagi terus n pulangnya sore. Jd g bs kmn2.


Pesan berikutnya setelah saya katakan saya ada pekerjaan tanggal 23-24 Desember:


Aq msk paginya seminggu tau! Sampe taun baru! Aq malam taun baru aja msk malam, jd mlm taun baruan di rs. Kerja apa?


Dia kebagian giliran jaga apotek di pagi hari setelah tanggal 25 dan baru dapat giliran kerja malam saat tahun baru nanti. Lagi-lagi yang saya dengar adalah rencana jalan-jalan, menghabiskan waktu bersama sesering mungkin. Dia tampak benar-benar menantikan saat bisa bersama saya. Kakaknya ini jadi merasa malu karena dirindukan oleh adik. Malu karena dia sendiri tidak pernah bersikap serupa.


Dengan Papa serta dua adik lelaki saya yang sekarang ada di Lampung, saya terhubung lewat ponsel. Papa saya membelikan setiap anaknya ponsel ketika mereka tinggal berjauhan. Papa memang hebat. Dia dengan sigap menomorsatukan komunikasi di saat raga kami tidak bisa hadir untuk saling bersua. Bila tidak lewat sms murah IM3 yang digunakan saya dan adik lelaki pertama, ya lewat fasilitas free talk dari Mentari seperti yang dipakai adik bungsu. Tapi sekarang dia memakai Simpati, jadi sulit untuk bisa mengobrol selama hampir tiga jam penuh di dini hari seperti ketika dia memakai Mentari.

...

Maka, kini, aku tidak ingin merasakan rindu itu lagi.

Aku akan pulang!

1 comment:

Eli Amhar Rahmah said...

wah kalo pulang biasanya bawa oleh2 kan? wah asik asik asik makan2 dong ^_^