Pada hari Sabtu tanggal 13 Mei yang lalu saya berkesempatan untuk menghadiri acara pernikahan teman saya, Mbak Rini, di Ujung Berung, tempat kediaman keluarga suaminya berada. Masih terpatri dengan jelas dalam benak saya kejadian seminggu sebelum pernikahan itu. Ba’da Magrib, dia menelpon saya yang sedang dalam perjalanan pulang dan meminta saya mampir ke tempat kosnya karena ada yang mau dititipkan. Tempat kos Mbak Rini berjarak kurang lebih lima ratus meter dari tempat kos saya. Saat saya tiba di tempat kosnya, dia telah menanti saya di pintu dengan antusias tapi seperti menyembunyikan sesuatu. Saya curiga. Setelah bertanya-tanya sebentar pada saya di sofa ruang tamu, dia menyuruh saya berbalik membelakangi dia karena dia mau mengeluarkan ‘titipan’ yang dia maksud. Tapi saya mencuri lihat dan kecurigaan saya benar.
Saya memonyongkan bibir karena merasa sebal. Yang dia keluarkan adalah undangan pernikahan berwarna ungu gelap yang cantik. Bagaimana tidak sebal? Seminggu sebelumnya teman saya yang lain, Teh Nia, datang ke tempat kos saya, untuk menyerahkan benda yang serupa: undangan pernikahannya, untuk tanggal 7 Mei. Mereka tidak pernah bercerita sedikitpun kalau mereka akan menikah. Yang ada adalah mereka ‘mau menitipkan sesuatu’ dan menyerahkan ‘titipan’ itu dengan senyum yang malu-malu. Iiiiiiiiiiiiiiih, saya enggak dianggap sama sekali!
Bayangin gitu loh, kami cukup dekat dan..., not even a word! Mereka tidak bercerita sedikitpin kalau selama tiga-empat bulan terakhir mereka dikenalkan pada orang dan..., tuing..., tuing..., mereka sepakat untuk menikah. Rasa sebal saya tidak dalam artian ‘benci’. Rasa sebal saya ini disebabkan karena mereka tidak bercerita sedikitpun pada saya. Selebihnya, saya merasa sangat bahagia. (Catatan: Mbak Rini dan Teh Nia teman satu kos. Dulu sewaktu saya tingkat satu, saya satu kos dengan mereka)
Oke. Singkat cerita, saya pergi ke Ujung Berung bersama Teh Depi dan adiknya karena saya tidak tahu tempatnya. Teh Depi dan adiknya adalah teman satu kos Mbak Rini juga. Setibanya saya di tempat kos mereka, saya mengetahui kalau Bunda dan Almar akan ikut juga. Siapa Bunda? Bunda adalah sebutan untuk putri dari pemilik kos Mbak Rini dkk. Bunda bersama suami dan kedua putranya tinggal di rumah kos itu. Almar adalah putra Bunda yang pertama. Umurnya belum lagi enam tahun. Almar mirip Bunda.
Bunda berperawakan tinggi dan kurus. Wajahnya mungil dan kulitnya putih. Orangnya ternyata sangat ramah dan sayang pada putranya. Saya langsung menyenangi Bunda. Sepanjang jalan menuju Ujung Berung, kami menjalin keakraban. Almar sendiri adalah anak yang manis. Dia tidak takut terhadap orang yang asing baginya dan mudah lekat pada orang lain. Dengan manja dan ceria dia meluluhkan hati orang-orang yang melihatnya.
Kala kami tiba di mesjid tempat akad nikah Mbak Rini berlangsung, akad sudah hampir selesai. Kami tiba terlambat. Karena tidak mau mengganggu acara, kami menunggu di luar. Saya bertemu dengan banyak teman lama di sana. Kami saling bertukar kabar dan rindu. Dalam suasana bahagia itu, kami saling bercerita tentang kisah-kisah pernikahan yang bahagia dari kenalan-kenalan kami. Almar tidak mau ketinggalan. Saya sempat menggodanya dengan bermain kepiting-kepitingan jemari saya dan mencubiti pipinya. Yang lain turut memelintir jarinya untuk meniru saya. (Itu lho, jari tangan ditumpangkan ke atas jari lainnya yang lebih besar. Misal, jari kelingking ditumpangkan ke atas jari manis dan seterusnya). Setelah itu Bunda nyeletuk, “Yang paling jago melintir jarinya berarti siap nikah ya bentar lagi?” Perkataan itu ditujukan ke saya karena saya yang berhasil memelintir semua jari saya di kedua tangan. Teman-teman saya tertawa dan saya hanya mesem-mesem.
Karena pasangan pengantin sudah mau keluar dari mesjid, Bunda mengajak kami ke rumah mertua Mbak Rini sekaligus tempat walimahan berlangsung. Rumah itu tidak jauh dari mesjid. Dengan santai kami berjalan beriringan. Sesampainya kami di depan rumah, kami mengisi buku tamu dan menempati tempat duduk yang tersedia. Tamu-tamu sudah banyak yang datang, dari kalangan kerabat, kolega, teman, dan tetangga. Di sana saya bertemu lebih banyak lagi teman saya. Kami bertukar cerita. Saya juga menggoda putri salah satu teman saya yang nampaknya sudah lupa pada saya. Umurnya baru empat tahun kurang. Namanya Icha. Dulu dia anak yang ceria dan ramah. Tapi entah kenapa sekarang dia menjadi pemalu dan sering cemberut. Caranya cemberut itu lucu. Dengan setengah menundukkan kepala, dia menatap sekeliling melalui bulu dari mata bulat-besarnya dan memasang bibir berkerut. Hahaha..., meski demikian dia mirip sekali ayahnya. Tapi mata bulat-besarnya itu mirip mata ibunya.
Satu grup munsyid naik ke atas panggung. Setelah mengucapkan salam dan berbasa-basi sebentar, mereka mulai mendendangkan satu nasyid. Saya yang duduk di deretan bangku paling depan dapat melihat mereka dengan jelas. Saya masih bercengkerama dengan teman-teman saya. Hari ini cerah sekali. Matahari jam sebelas kurang bersinar dan menyelusup melalui sela-sela tenda dan atap rumah. Sinar itu ada yang jatuh mengenai pangkuan saya. Debu-debu mengambang dengan lambat. Pemandangan itu tampak indah sekali. Seperti permata kecil-kecil yang berkilau. Almar yang duduk di belakang saya sedang digoda oleh teman saya. Saya berbalik untuk melihatnya. Saya turut tertawa bersama teman saya. Lalu saya menghadap ke panggung lagi. Kemudian dalam benak saya berkelebat segala rasa, bahagia, dan harap. Kilatan-kilatan bayangan pernikahan, bersanding dengan pasangan, menjadi orangtua, mempunyai anak, menari di depan mata saya. Mata saya menghangat. Dada saya dipenuhi rasa haru.
Di sepanjang perjalanan tadi, ada rasa lapang dan hangat yang menyelimuti saya. Mendengar panggilan ‘bunda’ adalah penyebabnya. Entah kenapa, panggilan itu begitu menyenangkan. Ada keakraban, kemesraan, dan rasa sayang dalam sebutan itu. ‘Bunda’ terasa begitu istimewa dan memberi kesan yang mendalam bagi jiwa saya. Sebutan ‘Mama’ atau ‘Ibu’ tidak demikian berkesannya. Saya menyeka air mata yang menggenang. Ah..., saya tidak dapat menjelaskan seutuhnya perasaan saya. Yang bisa saya jelaskan hanya haru dan bahagia. Sedetik kemudian saya seperti dapat merasakan bayi saya yang saat ini belum ada di dalam perut ini. Betapa besar cinta saya terhadapnya. Bagaimana tidak? Dia nantinya akan berasal dari tubuh saya, tumbuh di dalam diri saya, dalam dirinya mengalir darah yang sama, saya curahkan seluruh jiwa-raga saya untuknya, dan dia pernah sangat dekat dengan saya. Bagaimana mungkin saya tidak akan mencintai dia? Sungguh, saya ingin dipanggil ‘Bunda’.
Lalu teman saya dan suaminya datang. Pasangan itu datang ke rumah dengan mobil. Begitu mereka turun, saya melihat teman saya dituntun oleh ibu keduanya (ibu mertua). Terlihat bekas-bekas tangis di sembap matanya. Ah..., terlepas dari itu, dia terlihat sangat cantik dan anggun. Dengan balutan kebaya putih dan hiasan kepala yang indah, dia tampak luar biasa. Berbeda dari kesehariannya yang sederhana dengan jilbab lebarnya. Pengantin wanita memang bisa menjadi sangat cantik di hari pernikahannya.
Saya tidak tahu kapan saat bagi saya akan tiba. Well, kita tidak pernah tahu apa yang Allah sediakan untuk kita di depan sana. Tapi saya tidak khawatir. Saya turut bahagia melihat teman dan orang-orang di sekeliling saya bahagia. Itu sudah cukup buat saya saat ini. Pada saatnya nanti, saya akan merasakan kebahagiaan yang serupa. Insya Allah.