Kamis, 09 Maret 2006.
Simak arus kesadaran saya tadi pagi, ketika saya sedang mengunyah apel sebagai bagian dari sarapan (dan pelancar pencernaan).
Apel saya tinggal setengah, menyisakan bagian yang kulitnya kuning. Apel yang saya makan itu adalah apel ‘RRT China’. Yah, paling tidak itulah yang tertulis di label harga ketika saya berbelanja di pasar swalayan malam sebelumnya. Bentuk fisik apel itu tidak berbeda dengan jenis apel yang satunya lagi—saya lupa nama apel itu. Kulitnya sama-sama kuning muda dan bersemu merah, seperti gadis muda yang sedang malu. Tapi apel-yang-saya-tidak-ingat-namanya ini harganya lebih mahal.
Saya membayangkan berapa hari yang dibutuhkan apel yang saya makan dan kawan-kawannya dari Cina untuk bisa tiba di Indonesia. Yang jelas alat transportasi yang digunakan adalah kapal laut, bukan pesawat terbang (harganya akan lebih mahal lagi kalau dikirimnya dengan pesawat). Dari pelabuhan saya melayang ke daratan Cina.
Terbayang oleh saya ada banyak kebun sayur di sana. Berdasarkan artikel yang pernah saya baca—entah di Intisari atau di mana, ada kebun yang pupuknya menggunakan tinja manusia. Sumur penampungnya berada di tengah-tengah kebun. Sumur itu terhubung langsung ke tanah perkebunan, tapi masih dalam kedalaman yang aman sehingga tidak mencemari lingkungan. Lalu gas metan yang dihasilkan oleh tinja itu akan mengambang di sumur. Tapi tergambar dalam benak saya kalau ada pipa yang dirancang sedemikian rupa sehingga gas metan bisa ditampung dan dimanfaatkan.
Hmmm, saya berpikir bahwa bisa saja apel yang saya makan ini mengandung zat-zat dari tinja itu. Tapi bukankah alam memang luar biasa? Terlepas dari jijiknya kita terhadap kenyataan itu, toh alam telah memiliki mekanisme yang membuat tinja itu bermanfaat dan unsur-unsur dari saripatinya membentuk senyawa kompleks dalam tanaman. Saat merenungkan itu, saya tidak merasakan kejijikan.
Lalu saya mencoba berhitung. Tentunya ada kebun apel yang sangat luas di Cina. Katakanlah jumlah apel yang dikirim ke pasar swalayan yang saya jambangi semalam berjumlah 300 butir sekali kirim. Saya tahu kalau buah-buahan dikirim ke sana dua kali seminggu, yaitu di hari Minggu/Senin dan hari Kamis. Dua kali kirim berarti 600 butir. Itu baru di satu pasar swalayan. Coba hitung ada berapa pasar swalayan yang ada di Bandung? Saya hanya menghitung pasar swalayan yang besar saja. Minimarket kita abaikan. Itu baru di kota Bandung. Bagaimana, misalnya, kalau kita hitung jumlah apel yang dikirim ke area Jawa bagian barat (DKI, Banten, Jawa Barat)? Perbesar lagi areanya. Bagaimana kalau se-Jawa? Ah, saya tidak bisa membayangkan berapa banyak apel jenis RRT China ini. Tapi perhitungan belum selesai. Tadi itu baru jenis apel yang saya makan. Coba hitung berapa jenis buah impor yang ada?
Wah, kalau begitu betapa banyaknya apel yang dihasilkan oleh kebun-kebun di Cina. Kalau masa panen apel sekian bulan (saya belum mendapatkan informasinya), untuk memenuhi kebutuhan pulau Jawa mungkin diperlukan masa panen sekali. Tapi itu dari satu propinsi di Cina saja. Anda tahu kan besarnya daratan Cina itu? Tak heran kalau Cina menjadi pengekspor apel terbesar di dunia, yang diikuti oleh AS dan Turki. Kemudian terbayang oleh saya pir dari Korea yang hijau dan besar, apel Wasington yang merah gelap dan menggoda, persik yang lembut...
Katakanlah butuh tiga hari supaya kontainer berisi apel-apel ini tiba dari dari Cina ke pelabuhan Tanjung Priok. Setelah itu, perusahaan pengimpornya akan mendistribusikan apel ke berbagai daerah. Saya membayangkan Bandung saja. Tentunya bisnis ini sangat besar dan menguntungkan, bukan? Setiap hari, setiap minggu, tanpa henti-hentinya aliran buah beredar. Bukan hanya buah, tapi barang-barang kebutuhan lainnya. Saya jadi ingat pasar swalayan semalam. Untuk tempat sebesar itu, dengan ribuan jenis barang yang alurnya kurang lebih sama seperti apel (tapi beda tempat produksi), mesti membutuhkan suatu manajemen yang bagus. Mengatur sedemikian banyak barang, pasokan, ketersediaan, kebutuhan, semua memerlukan kerja yang terampil. Saya membayangkan betapa menyenangkannya berkutat dalam manajemen itu. Saya jadi punya keinginan untuk ikut terlibat dalam bisnis di bidang retail atau bisnis sejenis yang memerlukan perencanaan matang dalam waktu dan segalanya.
Dari situ saya berpikir betapa pentingnya ketepatan waktu dalam bisnis retail. Bila ada satu faktor yang terhambat, maka ketersediaan barang di pasar akan terganggu. Suatu jenis barang bisa hilang. Saya tidak berbicara dalam skala mikro, tapi dalam skala makro. Maksudnya tidak hanya dalam satu pasar swalayan saja, tapi untuk seantero cabang pasar swalayan itu di Bandung. Belum lagi perusahaan retail lain. Disinilah pentingnya kedisiplinan. Tanpa itu, semua kacau. Ribuan jenis barang lho.
Saya sudah menghabiskan apel dan sebentar lagi azan Subuh berkumandang. Kemudian pikiran saya melompat ke solat lima waktu. Saya meneruskan renungan. Sebenarnya umat Islam diajarkan disiplin, bahkan diwajibkan untuk melakukan bentuk kedisiplinan setiap hari. Kenapa orang yang solatnya tepat waktu diganjar dengan pahala yang besar? Karena ada nilai besar dalam tepat waktunya itu. Saya rasa bagian dari ‘pahala’ atau ‘ganjaran’ di sini bukan sekedar sesuatu yang abstrak/tidak bisa kita rasakan saat ini di dunia, tapi juga dalam keseharian kita. Mengingat renungan saya tentang bisnis retail dan aliran apel tadi, ‘ganjaran’ bisa kita dapatkan dalam bentuk lancarnya aliran barang serta kepuasan konsumen dan tentunya, majunya usaha. Ajaran disiplin sudah terintegrasi dalam ibadah yang mesti dijalani oleh umat muslim. Saya terkagum-kagum sendiri seolah baru mengetahuinya.
Saya berhenti di titik itu karena saya mau menuliskannya. Saya ke atas (kamar kos saya terdiri dari dua lantai; asyik ya?) dan menghidupkan komputer. Baru sebentar saya mengetik, saya mesti ke kamar mandi. Saya berwudlu kemudian saya solat Subuh...