Sunday, October 25, 2009

One of My Favourites

Two animals meet each other in the forest.

Asks the first animal: “What kind of creature

are you?”


Answers the second animal: “I’m a wolfdog.”


“What is a wolfdog?”


“Well, my daddy is a wolf and my mommy is

a dog, so I’m half wolf, half dog, a wolfdog.

And what kind of animal are you?”


“I’m a dragonfly.”


“You’re kidding...”


(Dragonfly: capung; but when we separate it into

dragon: naga + fly: lalat, well, you get it...)

Tuesday, October 13, 2009

Mereka Sang Penakluk Pasar Global

Jangankan Anda, seorang Arifin Sudarmo (42 tahun) yang
jelas-jelas berprofesi sebagai konsultan inkubasi bisnis
agro saja awalnya meragukannya. Apa pasal? Saat mengikuti
sebuah seminar agrobisnis di akhir September 2007 lalu,
di sebelahnya duduk seorang peserta dari PT Agarindo
Bogatama. Kenalan barunya ini menyebut perusahaannya
sebagai produsen tepung agar-agar terbesar kedua
di dunia--hanya kalah dari Algas Marinas asal negara Cile.
Bahkan orang ini meyakini bahwa dalam waktu dekat
perusahaannya yang asli Indonesia ini akan segera
menyalip Algas Marinas.

Merek tepung agar-agar perusahaannya adalah Swallow.

Tanpa bekal keahlian di bidang agar-agar, Efendy Tjoeng
(64 tahun) merintis produksi agar-agar secara modern di
Indonesia. Dan PT Agarindo Bogatama akhirnya berhasil
menjadi produsen dan pemasok tepung agar-agar terbesar
kedua di dunia setelah 36 tahun berjuang membesarkan
Swallow Globe Brand.

Awalnya Effendy mengimpor dari Algas Marinas. Kemudian
dia
mengemasnya di pabrik di Pluit, Jakarta Utara. Lalu mulai
tahun 1972 perusahaan yang awalnya bernama PT Dunia
Bintang
Walet ini meluncurkan merk berikutnya yang harganya
lebih
murah: Swallow Star. Pada tahun 1980-an menyusul
merk Swallow
Matahari, Swallow Rumput, dan Swallow Lili.
Merk-merk ini
diluncurkan untuk mengepung pasar dan
menawarkan produk
yang harganya lebih terjangkau.

Lalu pada tahun 1985, PT AB bekerja sama dengan BPPT
untuk
meneliti potensi rumput laut dan wilayah yang cocok
untuk
budi daya produk ini di berbagai wilayah di Indonesia.
Hasilnya, dipilihlah daerah Palopo, Sulawesi Selatan,
seluas 1000 hektar. Hal ini dilakukan untuk melepaskan diri
dari ketergantungan impor. Setlah ada jaminan pasokan
bahan
baku, kemudian mendirikan pabrik, pada periode
1997/1998
PT AB 100% berhenti mengimpor tepung
agar-agar.


Pada tahun 2007, produsen terbesar di dunia memiliki total
produksi 2000 ton per tahun. Posisi kedua dipegang PT AB
dengan total produksi 1500 ton. Posisi ketiga adalah Inafood
dengan total produksi sekitar 1000 ton. Tapi tahun 2008,
posisi ini sudah berubah karena PT AB siap meningkatkan
kapasitas produksinya menjadi 200 ton/tahun. Tahun
2009/2010 PT AB mengupayakan agar produksinya mencapai
3400 ton. Mereka siap menjadi yang terbesar di dunia.

Oh ya, apakah anda kenal dengan M.C.Chuang dan ketiga
putra-
nya, John, Joseph, dan William yang asli Garut?
Mungkin tidak.
Tapi saya yakin anda tahu Ceres. Ya,
Ceres adalah perusahaan
produsen cokelat tersohor
yang pabriknya bisa ditemui di
daerah Bandung Selatan.

Inilah beberapa fakta tentang M.C.Chuang dan
keluarganya:
Di tahun 1950-an, M.C. Chuang sudah
memasarkan cokelat dengan
merek Silver Queen. Pada
saat yang sama, sebuah perusahaan
yang awalnya dimiliki
orang Belanda, NV Ceres, yang kemudian
dijual ke
orang Indonesia semasa Jepang menduduki negeri ini,
jatuh ke tangannya. Beliau juga belajar mengolah cokelat
dari
sumber yang tidak main-main, pengelola cokelat Van
Houten.
Ilmu itu digunakan untuk memperbaiki proses
pembuatan Silver
Queen. Ngomong-ngomong,lisensi
produksi dan pemasaran Van
Houten masih dipegang
keluarga Chuang hingga hari ini.


Tak perlu analisis canggih untuk menyimpulkan kehebatan
Grup
Ceres yang berawal dari sebuah home industry
berskala
kecil dan ditangani dengan sederhana di Garut.
Kunjungi
saja para peritel. Dari yang kelas raksasa macam
Carrefour
atau Giant, hingga kelas Indomaret, Alfamart,
kios-kios di
terminal, warung-warung di kompleks
perumahan, atau toko
kelontong di pasar tradisional.
Di semua tempat itu, Anda
akan dengan gampang
menemukan berbagai produk keluaran
mereka. Silver
Queen, Ritz, Delfi, Chunky Bar, wafer Briko,
Top,
biskuit Selamat, dan tentunya merek meises yang
terkenal
itu, meises Ceres.

Belum lagi pasar bahan baku cokelat (cocoa ingredient)
yang mereka garap. Bidang ini bersifat B2B (industrial),
jadi
kliennya adalah kalangan korporasi yang memerlukan
cokelat
untuk produknya, entah itu susu, es krim,
atau cokelat batangan.
Perusahaan-perusahaan
cokelat dan
confectionary dunia seperti Nestle,
Cadbury, dan Mars adalah sebagian dari deretan

pelanggannya, bersama dengan kalangan pemilik
restoran,
bakery seperti Dunkin' Donuts dan
Bread Talk, serta
hotel-hotel.

Semula kantor pusatnya di Bandung. Karena bisnis grup ini
terus berkembang pesat, kantor pusatnya kini dipindah ke
Singapura, bernaung di bawah bendera Petra Foods Pte. Ltd.
Petra Foods sudah mencatatkan sahamnya di Singapore
Stock Exchange, dan lagipula, dunia lebih mengenal grup
Ceres dengan nama Petra Foods. Dengan omset tahun 2007
Petra Foods sebesar US$ 836,61 juta dan laba bersih
US$ 24,70 juta, Petra Foods dinobatkan sebagai Raja
Cokelat
no.3 di dunia, hanya kalah dari raksasa Mars
Group (M&M)
dan Hershey, keduanya asli Amerika.

Dan kemungkinan sebagian besar dari Anda tidak kenal
perusahaan perkebunan dan pemrosesan buah nanas bernama
PT Great Giant Pineapple (GGP). Areal perkebunannya berada
di Terbanggi Besar 77, Lampung Tengah, dan merupakan areal
penanaman nanas terbesar di dunia, luasnya 80 ribu hektar.

Pangsa pasarnya terbesar ketiga di dunia, hanya kalah dari
Dole dan Del Monte yang sudah ada ratusan tahun di pasar.
Awalnya GGP hanya memiliki perkebunan nanas seluas 15 ribu
hektar. Di tahun 1984, luas lahan bertambah menjadi 35 ribu
hektar dan empat lini produksi. Di tahun yang sama, GGP
mengapalkan produknya ke luar negeri untuk yang pertama
kalinya.

Produk-produk GGP berupa nanas kalengan (utama),
jus buah
nanas, clarified pineapple juice atau gula,
dan
tropical fruit coctail. GGP menggunakan jalur
private label, dimana GGP menjadi produsen untuk
label perusahaan lain. Nanas-nanas kalengan itu diberi
kemasan dan merek sesuai permintaan konsumen.
"Cetak
label di sini. Film negatif untuk label tinggal dikirim
ke sini. Sampai ke konsumen, mereka tinggal menjual.
Barangnya sama, tapi mereknya saja yang berbeda.
Yang
beda juga pilihan produknya, ada yang pilihan
atau
standar," urai Lucy Willar, Manajer Pemasaran GGP.

Yang canggih dan merupakan keunggulan dari GGP adalah
teknologi dan ketatnya prosedur proses produksi yang di-
jalankannya. Kekuatannya terletak pada irigasi. Yang kedua
adalah proses produksi yang terintegrasi penuh dalam satu
area, mulai dari penanaman hingga pengiriman ke konsumen.
Dan keunggulan GGP yang ketiga adalah pemanenan yang
berke
sinambungan sepanjang tahun."No single day without
pineapple
," ujar Lucy bangga.

Lagipula, GGP tercatat sebagai satu-satunya perkebunan
nanas
di dunia yang bersertifikasi ISO 9001:2000. Hampir
semua
sertifikat keamanan dan proses produksi mereka
miliki karena
masing-masing negara punya standar yang
berbeda. "Jadi istilah-
nya kami ini kolektor sertifikat,
hahaha." Dari ISO sampai
sertifikat Kosher, yang
menandakan kehalalan makanan bagi umat
Yahudi, ada.

Kenapa GGP memilih untuk berada di jalur private label?
"Karena satu, masalah investasi. Perlu uang, maaf... Dengan
membuat merek sendiri, kami perlu beriklan setiap hari di
seluruh dunia, itu butuh banyak upaya dari segi uang dan
strategi. Kalau kami ingin jadi terbesar dari segi merek,
rasanya sulit untuk menyaingi Dole dan Del Monte.
Mereka
sudah ratusan tahun di pasar, meski kualitasnya
sama.
Bahkan GGP pernah juga mengemas untuk Dole
dan Del Monte,"
tutur Lucy.

Sederet perusahaan lain seperti Hartindo (produsen zat
fire safety yang bahannya organik dan ramah
lingkungan, bukan halon), Grup Musim Mas (bergerak
di bisnis CPO), PT Indah Kiat Pulp & Paper Tbk,
PT Panarub Industries (mitra Adidas dalam memproduksi
sepatu bola), PT Sorini (produsen sorbitol dan
penantang serius dari perusahaan Roquette, Perancis),
PT Sari Makmur (eksportir kopi, pemasok terbesar
Starbucks),
bisa dibilang tidak dikenal. Tapi prestasinya
mantap.
Keberhasilan mereka bukanlah hal yang main-main.
Kualitas produk, layanan, proses produksi, manajemen
perusahaan kelas kakap mereka menjadikan mereka layak
bersanding dengan pemain kelas dunia. Kerja keras,
disiplin, fokus pada core bisnis, dan perbaikan
mutu tiada henti adalah kunci sukses mereka.

Jadi, diam-diam, produk Made in Indonesia
dipandang dengan serius oleh dunia.

Di saat sebagian orang merasa pesimis dengan nasib
bangsa ini, kehadiran pengusaha-pengusaha dengan
mental baja dan ulet tadi seperti angin segar.
Tanpa basa-basi atau niatan mencari popularitas,
rata-rata mereka bisa meraih posisi lima besar
dunia dan mengharumkan nama bangsa di kancah
dunia. Sebagian besar dari mereka bergerak di
bidang sumber daya alam atau berbasis sumber
daya alam; suatu kekayaan yang memang berlimpah
di negeri ini. Ini adalah bukti bahwa kita
bukan bangsa kelas dua. Asal punya kemauan dan
kegigihan, jadi nomor satu di dunia rasanya
bukan sekedar mimpi.

Ah..., Indonesia. Tanah air yang kucinta.
Alhamdulillah...
Indonesia... tanah air beta
Pusaka abadi nan jaya
Indonesia... sejak dulu kala
Selalu dipuja-puja bangsa...

[This writing could not exist without the courtesy of

SWA sembada magazine, ed.25/XXIII/Nov 22nd-Dec
5th 2007 and ed.21/XXIV/Oct 9th-22nd 2008]


To Give, Share, and Inspire
[Sari Alessandra]