Beberapa orang pernah nanya gitu ke saya. Atau semacam itulah.
Mereka tampak heran ketika mengetahui saya bisa cas-cis-cus berbahasa Inggris. Saya malah heran mengetahui mereka heran terhadap saya.
Kayaknya gak segitunya deh.
Seorang teman bilang ke kakaknya kalau saya pernah tinggal di luar negeri (makanya saya bisa bahasa Inggris). Padahal saya belum pernah! (Bingung juga saya; dapet ide dari mana dia?) Mungkin karena itulah kakaknya percaya banget ke saya dan minta tolong ke saya untuk nerjemahin beberapa bahan TA dia (jurnal psikiatri lho). Sekitar lebih dari sepuluh jurnal gitu.
Itu sih banyak banget!
Teman saya yang lain yang sedang kuliah di Melbourne pernah sms-an sama saya. Saya lupa dia nanya tentang apa. Yang saya inget saya ngejawab dengan bahasa Inggris. Balesan sms dia begini: “Wah, bahasa Inggrisnya bagus banget.”
“...”
Saya bingung.
Saya bales lagi begini: “Kayaknya salah deh. Justru kamu yang bahasa Inggrisnya (mestinya) lebih bagus dari saya. Kan tiap hari ngomong pake bahasa Inggris? Saya jarang-jarang nginggris di sini.”
“Tapi teteh pede menggunakannya! Kesannya emang jago.”
“Oh.., oke. Terserah deh...”
Trus ada kejadian aneh lainnya. Waktu itu di Salman ada diskusi terbatas tentang masalah agama. Yang jadi pembicara adalah tiga orang mahasiswa Amerika yang juga sedang ikutan sekolah misionaris. Mereka lagi maen ke Bandung selama di Amerika lagi summer. Teman-teman yang aktif di The Center (tempat untuk belajar bahasa Inggris) jalan Setiabudi yang mengundang mereka ke Salman ITB. Terbatas di Salman aja diskusinya.
Wah, menarik nih, pikir saya. Saya ikutan diskusi itu dan ternyata banyak orang di Salman yang juga tertarik untuk ikutan. Sang moderator adalah teman dari The Center yang disiapkan untuk jadi penerjemah. Pas sesi tanya-jawab, saya langsung bertanya dengan bahasa Inggris. Belum beres saya ngomong, salah satu dari pembicara itu motong sambil ngomong gini: "Wow, your English is goood...,” dengan nada heran campur terpesona.
Di depan seratusan orang.
"..."
Saya bengong sesaat.
Sumpah! Gak ada hubungannya dengan pertanyaan saya. Saya kan jadi malu.
Dalam hati saya mikir, Emang gak pernah ketemu dengan orang Indonesia yang bisa bahasa Inggris yak? Atau jangan-jangan dia pikir orang Indonesia gak ada yang bisa ngomong dengan bahasa Inggris kalee?
Jadi tambah bingung...
Saya sama sekali gak bermaksud nyombong. Tapi mereka yang saya sebutin tadi menganggap bahasa Inggris saya bagus...
Kayaknya gak gitu-gitu amat deeh...
Gak ada yang istimewa sih dalam cara saya belajar bahasa Inggris. Sama aja kayak kebanyakan orang. Kadang, kalo ditanya gimana saya belajar bahasa Inggris dan di mana, saya sebenernya pengen nanya balik, “Emang kamu belajar bahasa Inggrisnya gimana dan dimana seh? Saya gak beda jauh kok...”
(Tapi cuma nanya dalam hati, demi alasan kesopanan ^_^)
Jawaban formal saya biasanya gini: “Dulu pernah ikutan kursus di
Entah mereka percaya atau enggak.
***
Dulu
Saya menganggap diri saya belum menguasai bahasa Inggris dengan baik sampai tingkat dua kuliah. Sebelum itu, saya belajar bahasa Inggris di sekolah dengan cara yang sama dengan banyak siswa lain: membaca paragraf atau cerita dalam bahasa Inggris, menjawab pertanyaan-pertanyaan terkait dengan bacaan, belajar tata-bahasa (tenses) sedikit-sedikit, latihan menggunakan tata-bahasa tersebut, menambah perbendaharaan kata, dan seterusnya. Cara yang tradisional, kaku, dan parsial menurut saya.
Sedikit banget ada kesempatan untuk bercakap-cakap dalam bahasa Inggris di sekolah. Kalau ada bahan percakapan di buku, paling guru cuma nyuruh beberapa murid untuk ngebacain keras-keras. Menurut saya, metode belajar bahasa Inggris itu cuma mengasah kemampuan teknis dan dasar. Dasaaaaaaaar... banget.
Membosankan. Dan lambat.
(Makanya banyak lembaga kursus bahasa Inggris yang laku ^_^ )
Maksud saya, gimana siswa Indonesia bisa bersaing kalo cara belajar bahasa Inggrisnya gitu-gitu aja?
Kenyataannya, sewaktu kuliah, saya masih kesulitan untuk membaca buku teks matematika dalam bahasa Inggris. (“Membaca saja sulit...”) Skor TOEFL saya cuma sedikit di atas angka 500 (TOEFL institusional lho, skala ITB ajah, yang gak pake tes wawancara, dan juga gak pake tes English writing, satu kemampuan yang dianggap paling ‘atas’ dalam bahasa Inggris). Saya juga masih rada gagap kalo disuruh ngomong dalam bahasa Inggris. Kalo mau ngomong, masih kebanyakan “eem” atau berhenti di tengah jalan.
Rasanya belum cukup deh. Saya pengen banget punya skor TOEFL (internasional) di atas 600, juga bisa cas-cis-cus dengan nyaman sama bule, dan bisa membaca dengan mudah buku-buku berbahasa Inggris. Bisa menulis buku dalam bahasa Inggris, kayaknya..., ide yang cukup keren. Pokoknya, menguasai bahasa Inggris dengan sangat baik (seperti teman saya Ikram—hehe... Halo, Kram?).
Saya benar-benar perlu sebuah lompatan dalam mempelajari bahasa Inggris.
***
Akhirnya...
Saya mempelajari bahasa Inggris dengan cara yang, bisa dibilang, santai dan menyenangkan.
Sewaktu saya masih tingkat dua, sekitar tahun 2003-an, saya memaksa diri untuk membaca novel Stephen King yang berjudul “Four Past Midnight”. Isinya adalah empat cerita misteri: “The Langoliers”, “Secret Window” (udah difilmkan lho, yang jadi pemeran utamanya Johnny Depp), “Library Police”, dan “Sun Dog”.
Saya cuma sanggup baca dua cerita pertama aja. Itupun dengan gambaran samar-samar tentang isi ceritanya. Banyak kata-kata yang belum saya ketahui artinya. Tapi saya teteep nerusin baca, gak peduli ngerti atau enggak. Hajar bleh! aja pokoknya.
Saya juga baca beberapa buku lagi dalam bahasa Inggris waktu itu. Semakin banyak saya baca, makin lumayan pengertian saya tentang isi buku. Saya juga ngebaca buku anak-anak. Buku DONGENG, sodara-sodara! Setelah saya ngebaca buku itu, saya sadar bahwa kemampuan bahasa Inggris saya setara dengan anak umur sembilan tahun yang memang hidup di negara berbahasa Inggris.
Jadi, saya memang masih ‘anak-anak’ dalam bahasa Inggris. Tapi memang begitulah cara saya belajar bahasa Inggris: seperti anak-anak belajar bahasa. Diawali dengan memperhatikan dan meniru orang lain dalam berbicara. Trus saya mencoba untuk membaca bahan bacaan yang sederhana (apa lagi kalau bukan buku anak-anak?) dan ber-GAMBAR. Bagian 'bergambar' iini penting. Dengan buku bergambar (ya buku anak-anak), pemahaman kita terhadap kalimat dalam bahasa Inggris menjadi lebih luas. Seringkali, ketika kita membaca arti suatu kata dalam kamus, kita masih perlu mengira-ngira maksudnya apa dan penempatannya bagaimana. Maksud saya, satu kata itu bisa bermakna ganda. Dengan adanya gambar, kita bisa mengerti apa 'konteks' dari penggunaan suatu kata atau istilah.
Nah, sekarang, bagaimana caranya supaya saya ngerti kalo ada bule yang ngomong dan bisa menimpali dikit-dikit?
Alhamdulillah ada banyak banget lagu dan film yang bisa dijadikan media belajar. Saya belajar cara mengucapkan kata-kata dari ngedengerin artis bernyanyi. Niru aja, niru. Sementara itu saya belajar untuk memahami omongan orang bule--kebanyakan--lewat film (terima kasih untuk para Rilekser di ITB \\ ^o^ // ). Ya, cuma itu. Tentunya tanpa teks bahasa Indonesia di layar. Kalo teksnya bahasa Inggris, mendingan lah. Oh iya, siaran berita bahasa Inggris Metro TV juga membantu banget.
Tapi kok bisa, cuma lewat lagu dan film aja? Coba deh, diinget-inget. Kalo kita nonton film barat yang ada teks bahasa Indonesia, mata kita cenderung mengarah ke teks, bukannya merhatiin filmnya dengan detail. Kadang antara teks dengan apa yang diucapin aktor-aktrisnya gak persis sama. Kadang penerjemahnya ngaco juga dalam nerjemahin (saya juga baru tau belakangan, hehe...).
Karena nonton film dengan teks bahasa Indonesia itulah, kemampuan kita memahami pembicaraan orang bule tetap minim. Soalnya pas nonton bukannya ngedengerin yang diomongin (mengerahkan telinga), kita malah merhatiin terjemahan (dengan mata). Padahal mungkin udah bertahun-tahun kita nonton film barat. Pas gilirannya praktek (ketemu bule beneran), kita masih tertatih-tatih untuk bisa memahami omongannya. "Ngomongnya cepet banget", menurut kita. Yaah, orang yang masih belajar sih emang bakal ngomong gitu.
Makanya, saya bersyukur kalo ada film yang gak ada teks bahasa Indonesianya. Saya jadi lebih fokus untuk mendengarkan pembicaraan dalam film. (Saya sering bilang ke teman-teman untuk nonton film barat tanpa teks kalau mereka mau cepat menguasai kemampuan listening mereka. Ngedengerin lagu barat gak cukup.) Sekali lagi saya tekankan: hajar bleh! Ngerti gak ngerti, hajar bleh!
Sekarang kemampuan menulis dalam bahasa Inggris. Kemampuan menulis saya dalam bahasa Inggris diasah lewat ketidak-sengajaan sebenarnya. Ya lewat teman-teman saya yang minta tolong. Mereka, yang kemampuan bahasa Inggrisnya lebih minim dari saya, minta saya untuk menerjemahkan bahan kuliah mereka. Karena saya agak susah nolak permohonan orang yang lagi kepepet begitu, saya mengiyakan aja biasanya.
Sewaktu menerjemahkan, saya benar-benar membutuhkan kamus Inggris-Inggris. Harus begitu. Soalnya menerjemahkan itu bukan sekedar ‘mengartikan’ saja. Kita perlu menyusun arti kalimat sudah kita peroleh, trus kita bentuk kalimat tadi dengan struktur logika yang benar dalam bahasa Indonesia. Oleh karena itu saya perlu tahu definisi dari berbagai istilah dalam bahasa Inggris. Setelah tahu, saya dengan mudah bisa menemukan padanan kata atau frasenya dalam bahasa Indonesia. Contohnya ini:
prowl·er [prówler]Kalau kita tahu definisi dari ‘prowler’ di atas, tentunya kita punya perkiraan tentang apa artinya kan? Dalam bahasa Indonesia, gak ada padanan persisnya selain ‘penjahat’ atau ‘kriminal’. Tapi frase ini mungkin cocok untuk mengartikan 'prowler': ‘penjahat yang lagi cari kesempatan’.
(plural prowl·ers)
noun
1. somebody prowling with unlawful intent: somebody who moves stealthily around an area looking for an opportunity to commit a criminal act (seseorang yang menyelinap dan berputar-putar dalam sebuah area, mencari kesempatan untuk melakukan tindak kriminal)
Selain itu, lewat kegiatan menerjemahkan jurnal, saya juga belajar bagaimana menggunakan tata-bahasa Inggris dengan benar. Lha wong yang saya terjemahin jurnal atau buku teks semua. Ya terpaksa. Terpaksa jadi pinter grammar, hehe...Pastinya jurnal-jurnal itu ditulis dalam tata bahasa yang sangat formal dan sangat benar. Oleh karena itu kegiatan menerjemahkan bisa dijadikan media belajar tata bahasa Inggris yang sangat bagus.
Nah, kesempatan untuk meningkatkan kemampuan bercakap-cakap dalam bahasa Inggris datang saat teman saya dari Planologi menawarkan pekerjaan sebagai guru les privat matematika. Muridnya sekolah di Bandung International School (BIS). Syaratnya, si pengajar mesti dari jurusan Matematika (gampaaang...) dan bisa mengajar dalam bahasa Inggris (lumayan, udah pernah sekali).
Syarat yang kedua ternyata benar-benar diperhatiin sama ortu murid. Soalnya saya pake diwawancarain dengan bahasa Inggris segala sama guru ngajinya anak itu. Awalnya saya kira karena anak itu sekolah di BIS dan memang mesti menggunakan bahasa Inggris. Ternyata karena memang anaknya berkebangsaan Inggris! (Bule, bule...)
Waktu itu murid saya ini masih kelas tujuh (masih saya ajar sampe sekarang). Perempuan. Walaupun ngakunya dia menggunakan aksen British standar, saya kadang teteeep aja masih gak nangkep apa yang dia omongin. Saya aja yang masih belajar untuk menangkap pembicaraan bule Amerika dengan baik, merasa terpojok. Saya mikir: Ya Allah! Cara ngomongnya yang kayak orang ‘kumur-kumur’ itu loh. Gak jelas!
Tapi proses belajar matematikanya berjalan lancar kok. Meski awalnya saya masih pakai bahasa Inggris ala tarzan untuk berkomunikasi.
Contohnya gini. Dia pernah mengucapkan ‘our town’ seperti pengucapan ‘athan’ (azan). Gini nih caranya: “Aaw... thaan,” tanpa kedengeran bunyi ‘r’ di kata ‘our’ dan bunyi ‘w’ di kata ‘town’. Saya harus bilang, “Sorry?” sampe tiga kali baru saya ngerti apa yang dia omongin. Saya baru ngerti kalo yang diomongin ini: “Awwer... thaawn”.
Masya Allaaah!
Well, lama-lama biasa kok. Haruus... Gimana bisa komunikasi dua arah kalo sayanya gak ngerti-ngerti?
***
Intinya Sih...
Kesimpulannya, selama lima tahun terakhir, dengan santai, saya belajar bahasa Inggris:
1. dengan membaca buku-buku fiksi bahasa Inggris
2. lewat lagu dan film
3. pas saya ngajar siswi BIS tadi
4. pas saya nerjemahin bahan-bahan kuliah teman
Saya sangat bersyukur karena saya mendapatkan banyak sekali kesempatan untuk meningkatkan kemampuan bahasa Inggris saya. Saya bisa belajar sendiri sambil langsung mempraktekkan. Gak perlu bayar apa-apa lagi (kecuali kalo saya beli buku atau kaset). Malah saya dibayar karena udah nerjemahin buat teman dan mengajar matematika, hehe... Itulah sebabnya saya menyebutnya ‘belajar bahasa Inggris dengan menyenangkan'. Memang kadang ‘terpaksa’ untuk bisa. Tapi asyik kok.
Jadi, bagaimana dengan cara anda belajar bahasa Inggris?