This might sound superstitious. But somehow, even before Pilgub Jabar 2008 was held, I knew that Hade couple will win.
KTP saya adalah KTP DKI Jakarta. Jadi, ketika Pilgub Jabar kali ini dilaksanakan, saya tidak punya urusan apa-apa di dalamnya, kecuali sebagai penonton saja. Pas Pilgub DKI, barulah saya mempunyai hak pilih.
Yah, seperti yang telah saya katakan sebelumnya, entah bagaimana, saya yakin pasangan Hade menang. Tidak, saya tidak mendoakan pasangan manapun untuk menang. Saya pun tidak pro ke pasangan manapun. Namun entah bagaimana, ketika memperhatikan banner-banner besar, umbul-umbul, stiker, leaflet, serta berbagai media publikasi lain yang menampilkan ketiga calon pemimpin Jabar 2008-2013, saya cenderung menyenangi satu calon.
Ya pasangan Hade itu.
Entah itu perasaan simpati atau sekedar kecenderungan hati, saya tidak tahu.
Otak saya mulai menganalisis. Saya mencoba mengamati setiap banner besar yang saya temui di jalan, dari ketiga calon pemimpin Jabar. Kenapa banner? Karena ukurannya yang cukup signifikan (besarnya) sehingga saya bisa mengamati dengan setiap detil dari foto calon pemimpin beserta latar belakangnya.
Yang pertama saya temui dalam satu hari pengamatan saya adalah banner dari pasangan Aman (yang pendukungnya protes di depan KPU Jabar kemarin itu, sampai mengganggu para siswa SMK 5 yang sedang Ujian Nasional—masya Allah..., mereka menzalimi orang lain!). Atau, tepatnya, banner dari pak Agum Gumelar saja.
Ketika saya melihat foto pak Agum Gumelar di banner, dengan gayanya yang mencoba menyerupai anak muda, dengan jeans biru muda serta kemeja putih, serta jaket yang disampirkan oleh tangan kanannya di bahu, sedang berjalan menuju kamera, di sebuah taman—entah di rumah siapa, saya berpikir: maksa banget sih? Belum lagi komposisi warna hijau dan merahnya yang gak pas. Menurut selera saya sih, sebagai desainer grafis amatiran, banner ini enggak banget.
Saya tidak bisa menangkap apa maksud dari pengarahan
Ketika foto cawagubnya bersanding, saya bisa melihat, kalau pak Nu’man memberikan tatapan bingung. Matanya terlihat tidak fokus menatap kamera. Jadi, pertanyaannya, Bapak siap tidak jadi pemimpin? Berpose saja masih setengah hati. Bagaimana bila nanti menghadapi masyarakat yang hendak Bapak pimpin?
Jadi, maaf saja.
Bila Anda masih sempat menemui banner Aman, coba perhatikan ekspresi wajah pak Agum. Perhatikan baik-baik. Apa kesan yang anda dapat coba? Bila ada orang yang datang dan menawarkan ‘masa depan’ pada anda dengan wajah seperti itu, kira-kira anda mau tidak?
Yang kedua adalah banner Da’i. Foto pasangan ini cukup sederhana, dimana pasangan ini menatap kamera, dengan latar belakang berwarna kuning oranye. Well, banner yang ini bagus juga. Desainnya menarik dan tidak norak. Elegan kesannya. Nah, pada satu kesempatan lain, saya lewat banner ini di dekat Buah Batu. Lalu saya perhatikan ekspresi pasangan Da’i. Wajah pak Danny terlihat kaku, tanpa senyum. Sorot matanya juga tidak terlihat ekspresif; yang ada adalah kesan jutek-karena-lagi-pusing-banyak-urusan-jadi-jangan-dekat-dekat-saya.
Tapi ekspresi cawagubnya ramah dan terbuka. Pasangan ini jomplang deh. Mungkin yang lebih siap jadi pemimpin emang cawagubnya kali ye?
Saya memang gak banyak komentar lagi tentang pasangan nomor 2 ini, kecuali satu: saya udah bosan dengan Danny Setiawan. Dari satu foto saja sudah bisa terlihat bahwa orangnya kaku dan sudah berkarat di pemerintahan. Sudah tidak fleksibel lagi menghadapi perubahan. Memang sudah saatnya untuk turun dari pemerintahan emang.
Sekarang pasangan nomor tiga, yaitu Hade. Saya tidak kenal dengan pak Ahmad Heryawan sebelumnya. Dan jelas, bukan hanya saya, sebagian besar orang kenal Dede Yusuf. Tapi bukan itu yang menjadi bahan pertimbangan saya ketika menilai banner yang menampangkan foto mereka.
Latar belakangnya biru terang dan komposisinya segar. Membuat mata sejuk. Warna biru memang terkenal mempunyai efek menenangkan. Kemudian foto pasangan ini. Mungkin karena sudah terlatih sebagai seorang figur publik, senyum Dede Yusuf terlihat ramah, terbuka, dan tulus. Nah, senyum pak Ahmad Heryawannya juga begitu. Kesimpulannya, mereka berdua kompak dan seirama dalam menampilkan citra yang terbuka, penuh penerimaan, dan bisa diajak ngomong.
Hanya itu memang. Tapi itu sudah cukup. Hanya dari situlah, sepertinya, saya tahu bahwa pasangan Hade yang akan menang (dan sudah diputuskan hari ini).
Dengan segudang (bahkan lebih) masalah yang masyarakat hadapi sehari-hari, kira-kira orang seperti apa yang mereka datangi? Apakah orang yang mengedepankan gaya dan latar belakangnya, atau orang dengan wajah jutek-jangan-dekat-dekat-saya, atau dengan orang yang tersenyum hangat penuh penerimaan dan siap-mendengarkan-masalah-anda?
Kesimpulan ini bukan sekedar kesimpulan yang berasal dari reaksi impulsif. Meskipun amatir dalam fotografi, saya sudah cukup lama melakukan pengamatan terhadap ekpresi orang. Hanya perlu sedikit kejelian dan banyak meluangkan waktu, untuk bisa mengetahui isi hati seseorang dari eskpresi wajahnya. Dan foto merupakan alat yang luar biasa efektif untuk mendukung aktifitas pengamatan ini.
Anda tidak harus percaya pada saya. Toh apa yang saya uraikan sedari tadi adalah murni pendapat saya. Tapi saya benar-benar menyarankan agar anda melakukan pengamatan sendiri dan ceritakan hasilnya.
Pasangan Hade telah sukses dalam mencitrakan gambaran positif tentang diri mereka. Itu baru dari gambar saja. Berbagai faktor menjadi pendukung kesuksesan pencitraan ini. Tapi satu hal yang saya ketahui dengan pasti: orang boleh saja menjadi aktor/aktris legendaris, tapi senyum tidak tulus tidak bisa membohongi orang terus-menerus.
Yah, entah karena saya suka warna biru, entah karena saya senang pada berbagai elemen pendukung grafis dari banner Hade, entah karena saya menjadi simpatisan Hade tanpa sadar. Yang jelas, saya bisa merasakan bahwa senyum yang pasangan Hade tampilkan saat berpose di depan kamera itu bukanlah senyum palsu.