Saturday, October 27, 2007

Indramayu

Indramayu itu keren!

Kabupaten ini disebut Kota Mangga bukan tanpa sebab. Kalau di Bandung kita akan sering menjumpai pohon akasia di pinggir jalan atau sebagai pohon peneduh, di Indramayu pohon mangga ada di segala penjuru. Di rumah, di hotel, di kantor pemerintah, di halaman mesjid, di halaman sekolah, di depan sekolah, di pinggir jalan, di tengah sawah. Kemanapun mata memandang, yang kita lihat adalah dominasi pohon mangga. Segala jenis pohon mangga lokal akan kita lihat di sini. Bila ada rumah yang tidak memiliki pohon mangga, rasa-rasanya rumah itu 'dikutuk' (inget lho, saya ngasih tanda kutip).


Sekolah-sekolah di sana juga keren-keren dan luas lahannya. Benar-benar luas dalam arti sebenarnya. Saya membandingkannya dengan lahan sekolah di Bandung
sih. Karena luas, hampir semua fasilitas pendukung belajar bisa disediakan tanpa khawatir menempatkannya di mana.

Bahkan ada sebuah sekolah yang bernama SMU 1 Sindang, yang direncanakan untuk menjadi sekolah dengan 'kelas internasional. SMU ini adalah SMU pertama di Indramayu dan menjadi SMU favorit sekarang. Kelas internasional yang dimaksud memiliki pendingin udara 2 unit, sebuah TV, 1 set komputer, dan tape+radio+pemutar CD. Semua alat itu ditujukan untuk mendukung kegiatan belajar yang nyaman dan
full multimedia. Sekarang baru ada sekitar tiga kelas internasional. Berdasarkan info dari guru di sana, tahun 2012 SMU 1 Sindang akan menjadikan seluruh kelasnya sebagai 'kelas internasional'.

Menurut salah satu guru SMU 1 Sindang yang lain, anggaran untuk pendidikan di APBD Indramayu mencapai 39%.


Masih ada kaitannya dengan pendidikan:
Menurut salah satu guru SMU 1 Sindang yang lain, anggaran untuk pendidikan di APBD Indramayu mencapai 39%. Sebelumnya saya sudah pernah mendengar fakta ini dari teman. Tapi saya tidak percaya.
Hampir 40%? Ah, yang bener? Penuturan guru tadi membenarkan perkataan teman saya.

Wuiiih, 39% untuk pendidikan? Gede banget (bila dibandingkan dengan anggaran pendidikan di APBN). Gak pake ribut-ribut. Dan digunakan dengan serius (seperti digunakan untuk pembangunan gedung-gedung sekolah baru).

Belum lagi Bapak Bupatinya. Saya belum sempat berinteraksi secara langsung dengannya. Namun dari cerita-cerita banyak orang, saya cukup salut pada beliau. Salah satu hal yang membuat saya salut adalah anggaran pendidikan tadi. Belum lagi keseriusan beliau untuk memberantas 'gadis Indramayu' yang membuat citra Indramayu negatif itu. Siswi yang muslim diwajibkan untuk mengenakan baju panjang dan kerudung bila sekolah, dari SD hingga SMU. Pegawai negeri wanita yang muslim sudah terlebih dahulu diwajibkan mengenakan kerudung.


Ini cerita dari dosen UPI: Bapak Bupati benar-benar serius dalam meningkatkan kondisi pendidikan Indramayu. Beliau tidak segan untuk turun ke lapangan langsung dan mengecek pembangunan gedung sekolah. Mulai dari adukan semen, hingga kekuatan dinding dan pondasi. Bila sebuah dinding diketok terdengar kopong, maka beliau tidak segan menyuruh pihak kontraktor membuat ulang dinding itu. Bila dinding itu rapuh, maka Pak Bupati akan mendorong dinding itu hinga runtuh dan meminta kontraktor untuk membangun ulang dinding.

"Saya udah bayar mahal! Jadi yang bener!"

Yaaaaah, nafsu untuk melakukan korupsi yang dapat menyebabkan dinding sekolah kopong atau rapuh.

Semua hal positif tadi tidak lantas menutup hal-hal lain yang belum sempurna. Misalnya, fasilitas dan kondisi pendidikan di Indramayu belumlah merata hingga saat ini. Bukan karena dana hanya berkumpul di pusat kabupaten, tapi kesadaran masyarakat tentang pentingnya pendidikan belumlah merata. Jadi nampaknya Bupati berfokus pada tempat-tempat yang bisa 'dijangkau' terlebih dahulu, sambil memeratakan kesadaran penduduk akan pentingnya pendidikan. Belum lagi masalah korupsi yang ada di tubuh Dinas Pendidikan Indramayu. Klasik. Tipikal birokrasi di Indonesia.

Belum lagi masalah 'mangga manis' Indramayu yang terkenal itu. Sangking kepengennya masalah PSK asal Indramayu berkurang, Bupati pernah sampai meminta setiap SMP-SMU untuk mengadakan tes keperawanan bagi setiap siswi yang diterima. Pihak sekolah geger dan banyak yang menolak. 'Itu kan privasi masing-masing orang' adalah argumen untuk penolakan tersebut.

"Itu bahasa politis saja sebenarnya. Padahal intinya ingin agar masalah ini berkurang."

Saya berkesempatan untuk mengunjungi Indramayu dan berinteraksi langsung dengan guru-guru di sana. Saya belajar banyak hal dan melihat banyak hal (meski belum semua). Fakta-fakta yang saya beberkan di atas adalah sebagian dari hasil belajar saya. Mau tidak mau saya kagum melihat kabupaten Indramayu.

Prestasi Indramayu bisa saya lihat dari guru-gurunya. Mereka begitu antusias untuk meningkatkan kompetensi mereka dan mereka haus akan wawasan baru. Akses untuk itu memang belum semudah di Bandung. Tapi semangat mereka patut diancungi jempol. Mereka ingin maju dan saya yakin mereka akan maju dengan cepat. Tanpa banyak ribut-ribut lagi.
They do, not just talking.

Saya baru tahu kenapa orang-orang banyak menyebut Bupati Indramayu sebagai orang dengan prestasi yang bagus. Bila banyak orang yang mendukung beliau untuk menjadi Gubernur Jabar, saya tidak akan heran lagi.

Sebagai penutup, saya cuma mau bilang: Sukses Indramayu!

Saturday, October 20, 2007

Catatan di Umur 23 Tahun

Well, disinilah aku, di pojok belakang sebuah warnet deket rumah di Alur Laut, Plumpang, Jakarta Utara. Sempet su'udzon kalo warnet di daerah sini pada gak ada yang beres (baca: sekeren Comlabs ITB atau di Lab. Matematika ITB atau dimanapun di ITB dan sekitarnya). Tapi udahlah. Yang penting sekarang aku bisa buka Friendster, Blogger, dan Yahoo Mail dengan nyaman. Akses internetnya lumayan cepet kok...

Udah lama gak nulis di blog, diary, artikel, atau apapun yang berhubungan dengan kegiatan menulis, membuat otak rada-rada beku. Karena komputer adanya di Bandung, sementara itu di rumah sama sekali gak ada komputer (hidup macam apa itu?!), akhirnya kegiatan kreatif seperti curhat atau sekedar main Soliter, gak bisa dikerjain.

Kalau udah punya komputer dan hidup ada di seputar komputer, rasanya tanpa komputer sehari aja membuat aku jadi manusia purba. Meski aku bisa menulis dengan tangan, memasak dengan kuali, dan menjahit dengan mesin..., tetap saja gak nyambung! Oke, kembali ke topik. Meski dulu aku terbiasa untuk menulis diary dengan tulisan tangan, sekarang kebiasaan itu terasa menyusahkan. Enakan ngetik di Word atau blog.

Udah jadi manusia komputer kali ye?

[Ini kalimat yang standar banget, yang biasa kutulis kalo udah kelamaan gak nulis:]

Banyak yang sudah terjadi selama dua bulan ini. Pertama, Papa meninggal tanggal 17 September kemarin. Sirosis di levernya udah parah. Sudah ketentuan Allah. Aku sedih, tapi sudah bisa kuprediksi. Papa itu orangnya keras kepala. Udah tau kalo dia sakit, tapi maksa pengen terus kerja. Alhamdulillah Papa berpulang dalam keadaan ringan, tidak mengalami kesusahan yang berat. Semoga Papa mendapat tempat yang baik di sisi Allah...

Kedua, usiaku menginjak 23 tahun tanggal 30 September kemarin. Aku melewatinya dalam keadaan yang biasa saja. Memangnya mau bagaimana lagi? Tapi seneng juga sih, tahun ini banyak yang ngasih kado. Thanks for all of you, my friends! I love you all...

Ketiga, udah dua minggu ini aku flu. Badan ini terasa lemes. Flu ini muncul sejak aku minum Propolis (air liur lebah) Brasil. Aku tau kalo flu yang kualami merupakan reaksi DOC (Direct of Cure) yang biasa muncul kalo kita minum obat herbal. Tapi lemes-lemes gini, jadi curiga. Tapi sudahlah..., insya Allah sembuh dalam waktu yang singkat.

Dan ini yang paling penting, yang keempat:
Sejak di rumah, aku jadi banyak nonton TV. Dan seperti yang kita tau, kebanyakan acara TV adalah acara yang kurang bermutu (kecuali film box office, acara semacam si Bolang, Jejak Petualang, acara2 di Metro TV, Kick Andy). Yang disajikan adalah hiburan dalam bentuk indah, artis berwajah indah, jalan cerita sinetron yang indah, latar sinetron yang indah, dan yang indah2 lainnya. Acara gosip pun menyoroti kehidupan selebriti yang 'indah-indah'.

Bukannya aku kepengen memasuki dunia itu. Tapi menyaksikan kehidupan para selebriti itu, aku jadi berpikir. Umurku sudah 23 tahun. Sementara itu banyak sekali selebriti yang umurnya lebih muda dariku, tapi sudah sukses begitu. Aku sendiri bagaimana? Kuliah belum juga beres. Aku belum menentukan target pencapaian hidupku yang pasti (misalnya aku mau jadi orang yang ahli di bidang apa, trus pengen keliling Indonesia dan dunia, punya rumah sendiri, dan seterusnya). Penghasilan masih di bawah dua juta rupiah sebulan. Mimpi-mimpiku besar. Tapi, keadaanku sekarang belum sejalan dengan impian.

Melihat diriku dan membandingkannya dengan kehidupan para selebriti membuatku merasa tertinggal. Mereka sudah sampai mana, aku masih di mana... Bingung jadinya. Ketinggalan begini.

Tapi aku yakin bukan cuma aku yang merasa begini. Kurasa ini adalah fase ketika seseorang yang dewasa muda mulai membiasakan diri dengan kemandirian-dan-mulai-lepas-dari-tanggungan-orangtua. Serasa ada di tengah-tengah. Diri udah bisa mencari penghasilan sendiri, tapi masih tinggal dengan orangtua. Diri udah bisa nentuin kemauan sendiri, tapi orang tua masih dominan dalam menentukan keputusan (bukan berarti nantinya ortu gak akan jadi ortu kita lagi setelah kita berkeluarga lho).

Rasanya gamang.

Dulu, kukira orang yang berumur 23 tahun itu orang yang sudah mapan dari segi pemikiran. Paling tidak kukira aku akan begitu. Tapi sekarang aku malah merasa gamang. Hal-hal yang kukira kumengerti dengan baik (saat aku berumur belasan tahun), ternyata sekarang sulit kumengerti. Semakin aku mengerti, aku malah semakin tidak mengerti banyak hal (ini kalimat yang filosofis, bukan harfiah).

Dengan kemandirian yang harus kujalani ini, aku merasa seperti berada di tepian samudra luas tanpa ada petunjuk. Aku sendiri yang harus menentukan aku mau kemana, mau bagaimana, mau bersama siapa. Aku jadi rindu saat-saat ketika orangtua masih menentukan hampir semua langkah kita, yaitu saat kita masih berusia belasan. Sekarang orangtua hanya memberi saran saja. Dalam kasusku, 'orangtua' yang kumaksud adalah paman-bibiku.

Aku belajar dua hal dari pengalamanku. Pertama, menurutku, usia berapapun kita, kita tidak akan pernah 'dewasa'. Yang ada adalah 'lebih dewasa' karena kita membandingkannya dengan kondisi usia kita yang lebih muda saat kita melihat orang yang lebih tua. Usia yang kita pandang 'usia dewasa' ternyata memiliki tantangannya sendiri. Kita akan terus belajar dan belajar dan belajar. Kita harus terus belajar juga. Kedua, menjadi tua itu pasti, tapi dewasa belum tentu (iklan A Mild bangeth!).

Oke, aku merasa puas sekarang. Aku sudah mengeluarkan uneg2 yang kusimpan selama beberapa bulan berkaitan dengan bertambahnya umurku. Bener lho, aku udah mikirn ini selama beberapa bulan. Baru kesampean sekarang untuk nulisnya. Aku lega. Alhamdulillah...

Well, see ya again in my next posting: Indramayu. Dadah...