Friday, April 28, 2006

Iseng-iseng...

You Are Sunshine

Soothing and calm
You are often held up by others as the ideal
But too much of you, and they'll get burned

You are best known for: your warmth

Your dominant state: connecting



Your Brain's Pattern

Your mind is a creative hotbed of artistic talent.
You're always making pictures in your mind, especially when you're bored.
You are easily inspired to think colorful, interesting thoughts.
And although it may be hard to express these thoughts, it won't always be.


You Are Emerald Green

Deep and mysterious, it often seems like no one truly gets you.
Inside, you are very emotional and moody - though you don't let it show.
People usually have a strong reaction to you... profound love or deep hate.
But you can even get those who hate you to come around. There's something naturally harmonious about you.

Monday, April 17, 2006

Kata & Puisi

Tahukah kau, Kawan, belakangan ini aku seperti kehilangan banyak kata-kata. Well, pernyataan itu tidak berarti aku tidak bisa menulis dan berbicara. Kondisinya kurang lebih begini. Belakangan aku banyak merasakan berbagai perasaan, tapi aku tidak punya cukup kata untuk bisa mengungkapkannya. Perbendaharaan kataku tidak mampu untuk mencakupnya.

Ada kemungkinan kalau aku yang perlu menambah perbendaharaan kata dengan lebih banyak membaca. Namun bisa jadi perasaan-perasaan itu jauh lebih kaya dari untaian kata yang mampu kuungkapkan. Kalau pernyataan kedua barusan benar, maka hal itu akan kontradiktif dengan keadaanku yang sekarang ini sering tersentuh ketika membaca puisi, yang notabene menggunakan kata juga, meski hanya sedikit.

Dulu, aku tidak terlalu banyak mengonsumsi puisi. Makananku adalah esai, artikel, cerpen, cerbung, biografi, dan segala bentuk tulisan yang bercerita panjang lebar dan detail. Namun itu tidak berarti aku tidak bisa mengerti puisi. Aku hanya bisa memahami sedikit saja puisi bila dibandingkan dengan prosa. Sekarang, seperti yang sudah kukatakan sebelumnya, aku jadi akrab dengan puisi. Aku menghargai puisi lebih dari sebelumnya.

Dalam puisi, meski hanya ada untaian pendek kata-kata, tersimpan sejuta makna. Hanya dengan rangkaian sederhana, aku bisa mengerti semuanya. Hanya dengan rimanya, aku bisa memahami jiwanya. Seperti itulah keadaanku sekarang. Tidak dengan banyak kata, tapi hanya dengan sedikit kata.

Oke, aku mengerti kalau pembicaraanku mungkin agak tidak runtun. Namun harap dimaklumi karena dalam menulis ini aku sendiri sedang mencoba untuk memahami apa yang terjadi pada diriku.

Kembali lagi ke masalah puisi. Aku mencoba menebak-nebak, apakah aku sedang menapaki tahap selanjutnya dalam maqam sastra, saat aku kadang tidak dapat lagi banyak berkata dan hanya bisa berpuisi? Aku tidak tahu apakah ada hirearki semacam itu, di mana prosa berada di bawah puisi, dan aku tidak bermaksud membuat tingkatan semacam itu. Tapi jiwaku mengatakan begitu…. Ah, sebenarnya aku juga tidak yakin dengan pernyataanku barusan. Entahlah, aku sendiri belum memahami yang terjadi padaku sekarang sepenuhnya.



Kau…

Sampai di situ aku kelu

Ada rasa yang mengharu-biru

Yang sampai kini tak dapat bertemu



Sejuta asa

Tidak bisa bersua

Karena rasa ini terlalu kaya

Hingga kata pun tak mampu berbicara

Kau

Kau…

Sampai di situ aku kelu

Ada rasa yang mengharu-biru

Yang sampai kini tak dapat bertemu



Sejuta asa

Tidak bisa bersua

Karena rasa ini terlalu kaya

Hingga kata pun tak mampu berbicara

21 Tahun

21 tahun. Umurku saat ini sudah 21 tahun lebih.

21 tahun. Ternyata 21 tahun belum cukup bagiku untuk bisa mengenal diriku dengan baik.

21 tahun. 21 tahun tidak cukup untuk bisa memahami hidup dan kehidupan ini.

21 tahun. 21 tahun tidak cukup untuk bisa memahami siapa Allah itu.

21 tahun. Di umur 21 tahun ini aku kembali ke masa kanak-kanak, dimana aku menyadari bahwa aku berada di tepian samudera tak bertepi.

21 tahun. Banyak yang sudah terjadi dalam 21 tahun ini.

21 tahun. Di saat orang mengatakan kalau umur 21 tahun adalah umur puncak bagi seorang dewasa muda, aku justru merasa ada di titik nol.

21 tahun. Ternyata aku semakin tahu kalau aku tidak tahu apa-apa.

Wednesday, April 12, 2006

Nyaman

Tahukah kau, Kawan, kadang aku sering mengalami suatu keadaan hati yang aku sendiri tidak dapat menjelaskannya. Ups! Aku mungkin mesti sedikit menjelaskan. Maksudku adalah bukannya aku tidak tahu apa yang kurasakan, tapi aku tidak mengerti kenapa aku bisa merasa begitu.

Contohnya semalam. Aku terlibat dalam proyek Depdiknas semenjak bulan Febuari lalu. Proyek ini adalah proyek yang membina siswa-siswi SMP kelas 2 sepulau Jawa ini untuk menghadapi Olimpiade Fisika, Matematika, dan Biologi. Salah satu penanggungjawab proyek ini adalah ITB. Aku berperan sebagai fasilitator (atau lebih tepatnya pembina rohani dan tempat curhat) bagi mereka. bersama beberapa teman, aku mengurus berbagai keperluan teknis di luar pelajaran yang mereka terima setiap harinya, selama sepuluh hari karantina.

Semalam aku mesti datang ke P3G, asrama tempat mereka menginap, di jalan Diponegoro Bandung, untuk mengurus tutorial bagi mereka. Jam tujuh pagi ini, aku mesti melakukan presentasi kuliah. Yang menjadi masalah adalah, aku belum siap bahan sama sekali. Tutorial itu harus kuurus hingga jam sembilan malam. Sebetulnya aku agak khawatir aku tidak akan siap ketika presentasi pagi ini kalau aku pulang malam. Tapi toh aku tetap saja datang ke P3G karena tanggungjawabku.

Aku izin pulang ke teman-temanku pada pukul delapan, satu jam sebelum jadwal. Dan tahukah apa yang kurasakan ketika aku menghirup segarnya udara malam setelah keluar gedung? Ada semacam perasaan nyaman dan lapang dalam hatiku. Hatiku tenang. Perasaan itu seolah mengatakan bahwa semua hal yang ada di hari esok akan baik-baik saja, meski aku belum siap. Padahal aku belum siap sama sekali. Tapi itulah, aku tidak tahu alasan kenapa aku bisa merasa begitu sampai pagi ini terbukti bahwa dosenku memperbolehkan aku untuk presentasi minggu depan. Jadi, temanku yang presentasi lebih dulu. Perasaan itu benar.

Perasaan yang sama juga kurasakan di awal tahun ini. Saat itu aku mengikuti pelatihan untuk aktivis mesjid Salman. Sekitar seminggu sebelumnya, aku baru saja keluar dari rumah sakit karena aku terkena DB dan Tipes pada saat yang bersamaan. Selama aku mengikuti pelatihan itu, hatiku diselimuti perasaan tenang yang aneh. Jarang sekali aku merasa seperti itu. Perasaan tenang itu dapat digambarkan begini: aku tidak khawatir sama sekali. Kujalani saja detik demi detik dengan sebaiknya dan aku seolah tahu bahwa di hari-hari depan aku akan mendapat suatu kebaikan atau rezeki. Aku tidak mengerti kenapa aku bisa mengetahui hal itu.

Tapi memang benar adanya. Setelah aku selesai mengikuti pelatihan itu, aku mendapat banyak kesempatan untuk lebih mengembangkan diri. Aku terlibat dalam sebuah kegiatan kepelatihan. Aku diminta (Bayangkan! Aku, diminta!) untuk terlibat dalam tim fasilitator yang insya Allah proyek yang menantinya memang banyak. Aku belum pernah diminta dan dipercaya oleh orang lain untuk melakukan sesuatu kerja tim seperti ini. Aku merasa tersanjung.

Inilah dunia yang kucari selama ini. Sebuah dunia dimana aku bisa bertemu banyak teman baru dan pengalaman baru. Aku pun bisa membagi pengalamanku kepada orang lain, suatu hal yang memang sangat ingin kulakukan dalam bentuk 'formal' sejak dulu. Aku juga dapat mengetahui banyak hal tentang diriku yang sebelumnya tidak pernah kusadari, karena aku bekerja dalam tim. Lingkup pergaulanku makin lebar. Ilmu makin banyak kudapat. Rezeki pun tak kurang-kurangnya kudapat.

Mungkin terdengar aneh kalau aku mempertanyakan kenyamanan yang kurasakan. Padahal banyak orang di luar sana ingin bisa mendapatkan kenyamanan atau ketenangan hati seperti yang kurasakan. Tapi begitulah yang kupikirkan. Aku jarang merasa seperti ini. Untuk bisa menceritakan bagaimana rasa tenang atau nyaman itu secara detail, aku tidak mampu. Yang bisa kukatakan untuk perasaan itu adalah hatiku seperti diselimuti oleh kelegaan, kelapangan, ketenangan, dan kehangatan. Tidak kurasakan beban atau penutup dalam hatiku.

Aku merasa nyaman. Tahun ini sudah dua kali kurasakan kenyamanan semacam ini. Untuk yang kedua kalinya ini, aku belum tahu apa yang menantiku di depan sana. Tapi aku yakin, bahwa semua akan baik-baik saja. Semoga memang begitu adanya. Amin.

Tuesday, April 04, 2006

Sebesar Apa Cita-citamu, Kawan?

Sebesar apa cita-citamu, Kawan?

Ada temanku yang bercita-cita untuk menjadi penulis terkenal. Ada yang bercita-cita untuk bisa berkeliling dunia. Ada yang ingin menjadi ahli Biologi yang mumpuni. Ada yang berharap agar bisa pergi ke Inggris dan menonton MU di Menchester. Kemudian salah seorang temanku bercerita kalau ibunya masih bercita-cita untuk meraih Nobel. Bagiku, mereka punya cita-cita yang luar biasa.

Bagaimana dengan cita-citamu sendiri, Kawan?

Aku yakin cita-citamu juga tinggi. Barangkali engkau bercita-cita untuk menjadi aktris atau aktor yang aktingnya mampu memukau penonton dan dipuja oleh jutaan penggemar. Atau mungkin engkau ingin menjadi pemimpin besar yang dihormati rakyatnya. Mungkin engkau ingin menjadi penegak hukum dan mampu menebarkan keadilan ke segala penjuru bumi. Atau kau ingin menjadi pemain sepakbola tangguh seperti David Beckham? Atau barangkali kau berharap bisa mengalahkan Valentino Rossi di sirkuit balap suatu hari nanti?

Apapun cita-citamu, kejarlah Kawan. Jangan pernah menyerah pada halangan atau rintangan yang menghampiri langkahmu. Ingatlah, Kawan, pemenang adalah orang yang mampu berdiri di saat dia tidak mampu.

Cita-citaku? Engkau barusan berkata kalau kau ingin tahu cita-citaku? Ah, cita-citaku tidak sebesar engkau, Kawan. Cita-citaku sederhana. Aku tidak berharap bisa menjadi orang terkenal dan kaya raya. Aku tidak bermimpi untuk menjadi pemimpin bijaksana yang mampu mengatur negara. Aku tidak berkeinginan untuk menjadi orang karismatik yang menjadi inspirasi bagi jutaan penggemarnya. Akupun tidak sanggup untuk membayangkan akan mendapat hadiah Nobel. Bahkan untuk bermimpi meraih juara di perlombaan olahraga daerah saja tidak, apalagi memperoleh medali emas di Olimpiade.

Tidak, Kawan. Aku tidak mampu bercita-cita seperti kalian. Aku menyadari keterbatasanku. Aku tidak sehebat kalian. Jadi, aku hanya bercita-cita untuk bisa membangun keluarga yang bahagia serta dapat memberi perlindungan bagi anak-anakku nanti. Hanya itu, Kawan. Hanya itu.

Aku tidak berharap nanti aku bertemu dengan orang yang sempurna. Asalkan kami sempurna satu sama lain, itu sudah cukup bagiku. Dalam komitmen dan cinta yang kuat, aku ingin kami merasakan yang lain rasakan. Aku berharap kami bisa saling mengisi hari-hari yang tidak bisa diduga isinya, saling menghibur di kala duka, turut bahagia bila suka. Aku pun berharap kami bisa menjadi partner yang saling membantu bila yang lain mengalami kesulitan. Bersama-sama, kami mengarungi kehidupan yang bagaikan samudra dalam dan ganas ini.

Kemudian aku ingin agar aku mampu menjadi orangtua yang baik bagi anak-anakku. Orangtua yang melindungi selagi mereka lemah, yang menuntunnya kala mereka belajar untuk berjalan di dunia ini, membantunya berdiri ketika mereka tersandung, melepasnya ketika mereka harus terbang tinggi di langit—yang artinya mereka mesti meninggalkanku, dan mendoakan mereka di manapun mereka hinggap.

Aku ingin hadir di sisi mereka di setiap ‘saat pertama’ mereka. Yaitu saat mereka membuka mata pertama kalinya, saat mereka menjeritkan tangis pertama mereka, saat mereka bisa berdiri pertama kalinya, saat mereka memasuki sekolah pertama kalinya, saat mereka meraih piala lomba lari pertamanya, saat mereka membuat karya tulis pertamanya, saat mereka merasakan cinta pertamanya, saat mereka memutuskan untuk mengejar impiannya, dan saat mereka memulai hidup barunya. Aku ingin menyaksikan tiap momen pertumbuhan mereka.

Aku pun ingin menjadi teman bagi mereka, mendengarkan keluhannya, merasakan pedihnya luka mereka, menyemangatinya ketika mereka lemah, membantu kesulitan-kesulitannya, dan menghiburnya kala mereka gundah. Aku tidak ingin mereka merasakan yang pernah kualami. Cukup aku saja yang merasakan sakitnya diabaikan, sendirian tanpa dukungan, dan remuk karena tanpa perlindungan. Aku ingin memberi yang terbaik untuk mereka, Kawan. Aku ingin mereka menjadi manusia yang penuh dengan kasih sayang dan kelembutan. Aku tidak ingin mereka hidup dalam kebencian dan kemarahan. Aku ingin mereka bahagia.

Tidak ada yang bisa membuatku bahagia selain tawa dan kebahagiaan mereka. Tiada yang lebih membuatku pilu daripada tangis dan lara mereka. Tidak ada yang membuatku bangga daripada keberhasilan dan kehormatan mereka. Tiada yang dapat membuatku lebih terpuruk daripada kejatuhan dan kegagalan mereka. Kutumpukan semua harapku pada mereka. Mereka luka, akupun luka. Mereka terbang, akupun terbang. Mereka menangis, tangisku lebih hebat. Merekalah belahan jiwaku, Kawan.

Ada saatnya mereka akan pergi ke seberang lautan, terpisah dari diri dan hatiku. Hal itu tidak dapat dicegah, Kawan. Saat itu pasti akan tiba. Aku tentu akan berada dalam kesepian saat itu terjadi. Kalau aku mau egois, aku bisa saja mengikat mereka agar mereka tidak pergi kemana-mana. Tapi, ah..., bukankah aku yang lebih dulu hadir di dunia ini seharusnya mengerti kalau ada saatnya mereka harus pergi? Bukankah itu memang mesti terjadi? Bukankah dulu pun aku telah dilepas dengan rela oleh orangtuaku? Pada saatnya nanti, mereka akan kembali ke dalam pelukanku. Kalaupun mereka tidak kembali, aku tetap akan mendoakan yang terbaik bagi mereka. Tetap yang terbaik untuk mereka, Kawan.

...

Sebesar apa cita-citamu, Kawan?

Apapun cita-citamu, Kawan, janganlah ragu untuk menggantungkannya setinggi langit dan bintang. Aku yakin, cita-citamu besar dan mulia. Jadi janganlah berkecil hati, apapun cita-citamu.

Cita-citaku? Yakinlah, Kawan, cita-citaku sederhana. Aku hanya ingin membangun keluarga yang tidak akan terlupakan oleh anak-anakku. Hanya itu. Sederhana, bukan?


Eh, ketemu lagi!

Jadi, sodara-sodara, saya memang udah lama enggak bermain di dunia maya. Apa pasal? Saya tuh lagi sibuk bermain di unit kegiatan di emsjid Salman ITB. Anyway, koneksi internet di lab jurusan saya (Matematika ITB) sempet ngadat di pertengahan bulan Maret lalu. Jadinya gitu deh, saya gak update tulisan di blog tercinta ini.

BTW, waktu itu berjalan dengan relatif ya? Maksudnya, dalam waktu dua bulan ini, saya mengalami banyak hal. Rasanya waktu itu berjalan lambat. Tapi pada saat yang sama, waktu berjalan dengan cepat juga. Emang begitu yang saya rasakan. Waktu berjalan lambat dan cepat sekaligus. Bingung juga sih saya ngejelasinnya, tapi ya gitu deh.

Satu kalimat: Eh, ketemu lagi!

[Mhueheheheh, garing yak?]

Walah, mau ngomong apa lagi ya? Kok jadi mandeg begini? Oke deh, gini aja. Saya ngetik dulu tulisan di rumah, baru kemudian saya upload ke sini. Bubye kalo gitu.