Friday, July 22, 2005

Rasa Iri Itu Perlu

Beberapa waktu yang lalu, di dalam sekre unit yang saya ikuti berputar isu "iri kepada teman". Tapi sebelum saya beranjak lebih jauh, perlu saya tekankan bahwa tidak ada keributan atau pertumpahan darah yang terjadi karena isu itu.

Beberapa orang mengatakan kalau mereka ngiri pada salah seorang teman yang bisa mendapat banyak job bahkan sebelum dia lulus. Sementara itu, ada yang merasa iri karena temannya punya banyak talenta, walau sebenarnya orang itu merasa tidak fokus pada satu bidang. Tahu sedikit tentang banyak hal, menurutnya.

Mengetahui itu, saya jadi teringat pada diri sendiri.

Ketika baru masuk ke unit itu, saya mendapati kalau saya dikelilingi orang-orang dengan kemampuan yang lebih baik dari saya. Saya langsung down. Untuk beberapa lama saya merenungi dengan sedih, Mereka udah segitu, elo sendiri udah sampe mana? Belom sampe mana-mana, tau!

Yah, begitulah.

Tapi, alhamdulillah, rasa sedih saya itu bertahan paling lama cuma sehari. Besoknya, saya sudah bersemangat dan menyusun strategi-strategi untuk mencapai kesuksesan. Tapi saya tidak sekedar menyusun strategi kemudian tidak dijalankan.

Dari pengalaman itu, saya berkesimpulan kalau rasa iri itu perlu. Tapi dengan sedikit catatan: Rasa iri tidak membuat kita menjadi dengki, tapi malah memacu diri kita supaya kita mencapai kesuksesan yang serupa, bahkan lebih, seperti yang dicapai orang lain. Sekali lagi saya bersyukur karena saya tidak dengki pada teman-teman saya. Soalnya saya sudah punya cukup pengalaman untuk menyadari bahwa dengki itu tidak perlu.

Bagaimana menurut Anda?

Monday, July 18, 2005

Evolusi Bacaan

Sewaktu TK, saya senang membaca majalah Bobo dan majalah komik Donal Bebek.

Ketika SD, saya mulai membaca buku-buku serial petualangan karya Enid Blyton. Tak ketinggalan buku-buku novel Agatha Christie melengkapi bahan bacaan saya. Komik Doraemon dan Candy-candy baru diterbitkan oleh Elex Media Komputindo. Sejak itulah saya mendapat tambahan bacaan baru: Komik Jepang.

Kelas tiga SD, saya mulai membaca buku-buku yang agak berat seperti novel karya Sidney Sheldon. Kelas empat SD, saya dibelikan majalah Kawanku untuk yang pertama kalinya. Harganya ketika itu seribu enam ratus rupiah. Sementara itu majalah Donal Bebek masih seribu dua ratus rupiah. Di periode ini pula, saya mengenal Wiro Sableng.

Kelas lima, SD, saya mulai mengenal cerita-cerita pembunuhan Jack The Ripper dan novel Goosebumps. Lalu di kelas enam SD, saya mulai mengenal majalah remaja seperti Gadis, Anita, dan Aneka Yess.

Selama SMP, bacaan saya belum banyak berubah. Kecuali makin banyak jenis majalah remaja dan novel orang dewasa yang saya baca.

Ketika kelas satu SMU, saya mengetahui kalau perpustakaan SMU 2 Bekasi itu adalah surganya buku sastra dari pengarang angkatan lama Indonesia. Saya sampai bertekad untuk menghabiskan semua bacaan itu hingga saya menyelesaikan masa SMU saya di sana. Tapi saya pindah ke Jakarta pada kelas dua cawu terakhir. Proyek “menghabiskan semua buku sastra di perpustakaan” saya tidak selesai.

Di kelas dua SMU, saya mulai membaca majalah Intisari. Intisari yang dimiliki oleh Bu Dara, bibi saya, dipinjam oleh kami sekeluarga. Berpuluh-puluh seri majalah kami habiskan. Kami juga mulai membaca komik Legenda Naga dan Detektif Conan.

Kelas tiga SMU, saya mulai melahap buku-buku pemikiran Islam. Novel remaja Islami pun menjadi bagian dari menu bacaan saya.

Sepupu saya adalah penggemar Pramoedya Ananta Toer. Oleh karena itu saya juga turut membaca buku-bukunya. Tapi saya belum sempat membaca tetralogi Bumi Manusia dan buku Panggil Aku Kartini-nya, hingga sekarang. Karena saya sudah keburu diterima di ITB. Kakak sepupu saya yang satu lagi adalah penggemar N.H. Dini dan serial Litle House in Prairie. Saya pun ketularan demam N.H.Dini dan serial Litle House.

Ketika kuliah, di tingkat satu khususnya, saya masih meneruskan kegemaran membaca buku-buku Islam. Setengah dari koleksi buku yang saya miliki selama di Bandung adalah buku-buku Islami. Setengahnya lagi berasal dari jenis buku yang berbeda-beda: Fiksi, how-to, pengembangan diri, bahasa asing, biografi Khulafaur Rasyidin, iptek populer, dan masih banyak lagi. Dan tentu saja, buku-buku teks kuliah Matematika.

Tapi yang saya baca lebih banyak dari itu. Sejak mengenal Zoe Corner dan teman-teman yang sama-sama bookacholic, saya mendapat kesempatan besar untuk membaca tanpa mengeluarkan sejumlah besar uang untuk membeli buku. Hingga tingkat tiga semester satu berakhir, yaitu di akhir tahun 2004.

Tiba-tiba saja, saya kehilangan minat baca terhadap berbagai jenis buku yang biasanya saya senang baca. Misalnya novel-novel Agatha Christie, Sidney Sheldon, Danielle Steel, dan berbagai novel karya “novelis best seller barat” lainnya. Tapi tidak sekaligus sih hilangnya. Saya juga mulai jarang membaca buku-buku pemikiran Islam. Saya juga kehilangan minat terhadap buku-buku How-To. Ketika saya meminjam buku serial petualangan Enid Blyton, saya tidak bisa meneruskan bacaan dari halaman pertama. Entahlah, saya merasa jenuh bahkan sebelum membacanya.

Yang masih senang saya baca adalah buku komik berbahasa Inggris yang belum diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Saya masih senang membaca buku-buku fiksi dan biografi tokoh tertentu. Komik-komik di Zoe Corner pun tidak banyak yang saya baca, kecuali beberapa judul yang memang saya ikuti karena ceritanya bagus. Saya hampir tidak pernah lagi membaca atau meminjam buku-buku di Zoe Corner. Bosan.

Lalu, selama seminggu pertama di bulan Juli, saya hampir tidak membaca apa-apa. Kalau pun membaca sebuah buku, di bab awal saya sudah menyerah. Kemudian saya pindah ke buku lain yang nampaknya menarik. Namun kembali pola yang sama terulang. Akhirnya saya benar-benar tidak membaca. Yang saya lakukan adalah menonton film-film pinjaman dari Zoe Corner atau teman-teman saya.

Barangkali saya memang sedang berada di titik jenuh untuk membaca buku. Saya mungkin harus melakukan sesuatu yang baru. Dan sesuatu yang baru itu seperti menonton film. Saya juga rasanya harus memanfaatkan waktu liburan saya untuk jalan-jalan keliling Bandung, menjelajahi tempat-tempat yang belum pernah saya datangi. Contohnya Kebun Binatang yang ada di samping kampus ITB.

Bukan ide yang buruk, bukan?

Lagipula, arti “membaca” kan tidak sekedar membaca teks. Jadi barangkali sudah saatnya saya memperbanyak jenis “bacaan” baru yang terdapat di kehidupan saya. Kalau dipikir-pikir, barangkali kejenuhan akan membaca buku merupakan bagian dari evolusi bacaan saya. Mungkin itu sinyal bahwa saya harus beranjak ke tahap berikutnya dari membaca, tidak melulu mengandalkan buku atau teks sebagi sumber informasi.

Contohnya dapat kita lihat pada kehidupan sehari-hari. Misalnya membaca ekspresi/emosi orang lain kemudian menginterpretasikan artinya. Atau barangkali membaca adat istiadat/norma yang dijunjung pada sebuah lingkungan. Mungkin juga membaca rumus-rumus matematika. Hehehe...

Tapi kegiatan iqro yang satu ini tidak semudah kelihatannya. Saya harus mau membuka hati dan mata lebar-lebar, menajamkan telinga dan empati, serta mengasah kepedulian terhadap apa-apa yang terjadi di sekitar saya. Berarti saya memerlukan hati yang lapang, jiwa yang besar, dan pikiran yang jernih. Baru saya bisa dikatakan “membaca” dengan baik.

Saya harus memulainya, bukan?

Wednesday, July 13, 2005

Kalau lagi bete,

rasanya aku tidak punya harapan lagi.

Kalau lagi bete,

rasanya aku sangat kesepian.

Kalau lagi bete,

dunia ini terlihat sangat suram dan dingin.

Kalau lagi bete,

aku merasa tidak berguna dan tidak berharga sama sekali.

Kalau lagi bete,

aku jadi sangat pesimis, sinis, dan pragmatis abis!

Kalau lagi bete,

rasanya semua yang kukerjakan tidak ada yang beres!

Tapi kalau lagi bete,

aku jadi tahu kalau aku banyak kekurangan

Kalau lagi bete,

aku jadi tahu kalau aku selama ini terlalu buta untuk melihat kelemahanku.

Kalau lagi bete,

aku jadi sadar kalau aku terlalu sombong dengan pencapaianku yang tidak seberapa.

Kalau lagi bete,

aku jadi sadar kalau aku sering keterlaluan.

Dan kalau lagi bete,

persediaan energi dan emosiku menipis sampai titik kritis.

Kalau lagi bete,

aku inginnya menangis terus.

Badanku akan merubah status aktifnya menjadi status hibernate.

Kelenjar air mataku giat berproduksi.

Semua organ badanku mengurangi kegiatannya.

Lalu, aku tidur; mencoba untuk meredakan bete.

Dan ketika keesokan harinya bangun, badan dan pikiranku segar kembali.


Jadi,
gak ada salahnya kan kalau aku sekali-kali bete?

Malam Mingguan

Tiga tahun tinggal di Bandung, belum pernah sekalipun aku “malam-mingguan”. Maksudnya jalan-jalan bersama orang yang dekat denganku di malam Minggu. Karena adikku yang perempuan, Liza, sedang berlibur di Bandung, maka aku mengajaknya untuk bermalam-minggu pada hari Sabtu malam tanggal 9 Juli kemarin.

Awalnya aku berniat untuk mentraktir dia di sebuah warung steak di simpang Dago-Sulanjana. Tapi karena tempat itu penuh dan banyak yang mengantri, aku jadi urung untuk mentraktirnya di sana. Lantas dia mengatakan kalau dia sedang ingin makan junk-food. Jadi dia ingin makan di Mc’Donalds saja. Kami pun beranjak ke sana.

Tadinya aku ingin mengajaknya ke BIP dengan berjalan kaki. Tapi karena dia mengeluh karena jauhnya BIP dari simpang Dago-Sulanjana, aku sepakat untuk naik angkot ke BIP. Sesampainya di sana, aku menyadari kalau BIP di malam minggu itu sangat padat dan ramai. Untungnya tidak bising. Aku menunjukkan penjual ular dan berbagai binatang lainnya pada adikku. Aku bilang, “Lucu ya ularnya?” Sambil mendelik dia menimpali tidak setuju, “Ih, ular kok lucu?!”

Dari pintu utama BIP, kami berbelok ke kiri, ke arah Mc’Donalds berada. Sesampainya di depan tempat pemesanan, kami berhenti sambil mengamati orang-orang yang sedang mengantri. Wuih, penuhnya.

Lalu Liza bercerita tentang sebuah anekdot yang diceritakan sales Oriflame yang datang ke sekolahnya: Beda orang kaya dan orang miskin pada saat masuk ke Mc’Donalds terlihat, lho! Kalau orang kaya masuk Mc’Donalds, mereka langsung memesan tanpa melihat-lihat menu lagi. Kalau orang miskin, mereka akan berdiri lama sekali sebelum memesan makanan. Mereka menimbang-nimbang dulu paket mana yang paling murah. Setelah memutuskan akan membeli apa, mereka pun masih akan membatalkan pesanan dan mengganti dengan pesanan baru karena masih bingung mana yang lebih murah.

Persis seperti yang kami berdua lakukan saat itu. Ada-ada saja...

Lalu kami mengantri di barisan yang kanan sambil berpikir yang mana yang mau kami pesan. Akhirnya pilihan kami jatuh pada burger Mc’Chicken beserta kentang goreng dan Coca-Cola. Sambil menelan ludah karena melihat harganya, kami membayar (orang miskin, nih ye..., hehehe). Lalu kami mengambil tempat duduk di luar, di depan pintu masuk. Kami belum mulai makan karena kami ingin makan es krim dulu. Sambil menunggu Liza membeli es krim, aku mulai memakan kentang goreng dengan sambal.

Setelah Liza kembali, kami mulai makan. Kami memulainya dengan es krim baru kemudian menghabiskan makanan yang lainnya. Sembari menghabiskan burger ayam, aku mengamati sekelilingku.

Kulihat ada dua orang pria dengan dandanan feminin lewat. Lalu terdapat beberapa siswa taruna entah dari perguruan militer mana. Dan di sudut kiriku kulihat anak Kimia ITB 2002, teman di kelas presentation sewaktu TPB. Dia melambai sambil tersenyum, aku melakukan hal yang sama. Kemudian dari arah pintu masuk mobil ke tempat parkir BIP, kulihat Ully datang dengan seorang temannya. Kami bersalaman dan mencium pipi kiri-kanan. Lalu dia memperkenalkan aku dengan temannya, sementara aku memperkenalkan dia dengan adikku. Dia kemudian pamit dan berkata dia akan jalan-jalan dengan temannya yang lain.

Sepanjang waktu makan burger, aku juga mengamati satu keluarga yang duduk di sebelah meja kami. Keluarga itu terdiri dari orangtua lengkap dan sepasang anak laki-laki dan perempuan. Ketika kami baru menempati tempat duduk kami, mereka sedang menikmati sup. Di meja mereka terdapat sisa-sisa bungkus nasi dan tulang ayam. Ketika kami makan, mereka sedang menikmati es krim. Urutan makan yang berkebalikan dengan urutan makanku dan adikku.

Melihat mereka, sambil mengingat harga makanan yang kami berdua makan, aku berpikir: Apa yang membuat restoran di pusat-pusat keramaian penuh di malam minggu? Padahal kalau dipikir-pikir, tidak setiap orang yang makan di tempat seperti Mc’Donalds benar-benar mampu untuk membeli makanan berharga aduhai setiap kali mereka menginginkannya. Seperti aku. Tapi tetap saja restoran-restoran itu ramai.

Kemudian aku melihat kembali apa yang aku lakukan saat itu. Bukankah suasana kebersamaan yang terbangun saat makan bersama itu yang sebenarnya esensial? Seperti diriku yang belum punya seorang teman dekat pun yang bisa diajak keluar malam minggu, keberadaan adikku dan obrolan yang kami lakukan rasanya sebanding dengan harga yang kami bayar untuk makanan itu. Walaupun sebenarnya banyak tempat dengan harga makanan yang lebih murah.

Beres menikmati makanan, kami langsung bergerak ke tujuan readacholic seperti kami: Gramedia. Liza langsung naik ke lantai teratas untuk melihat koleksi komik dan novel fiksi terbaru, sementara aku melihat-lihat tumpukan buku dari berbagai kategori yang baru terbit. Melihat buku-buku itu, terbit keinginan besar dalam diriku untuk...

(Kalau Anda berpikir bahwa lanjutan kalimat tadi adalah “membeli buku”, Anda salah! Hehehe...)

Yak, kita kita lanjutkan lagi. Terbit keinginan besar dalam diriku untuk membaca buku lagi. Dua minggu terakhir ini, aku hampir-hampir tidak membaca buku apapun. Kalaupun aku membaca buku, aku berhenti di awal buku, tidak mau melanjutkan. Entah kenapa, buku menjadi benda yang tidak menarik buatku. Tapi semenjak melihat beragam topik yang terpampang di hadapanku saat itu, otakku terangsang lagi untuk membaca buku. Karena melihat buku-buku dengan sampul mengkilat dan baru itu! Aku teringat buku-buku yang menanti diriku di rumah untuk dibaca....

Aku mendapati bahwa sudut barat dari lantai tiga itu sudah jadi dan ditempati oleh buku-buku dari kategori komputer dan pertanian. Berarti sekarang tempat itu luas sekali ya? Sementara itu, sudut utara dekat eskalator yang tadinya ditempati buku-buku pertanian sudah ditempati buku-buku psikologi dan agama. Buku-buku impor menempati bagian selatan dari eskalator, tempat yang tadinya diisi oleh buku-buku psikologi dan humaniora. Buku-buku desain interior impor yang dipajang di situ membuatku mupeng.

Di Gramedia ini aku tidak bertemu orang-orang yang kukenal.

Setelah puas menjelajahi lantai tiga, aku beranjak ke lantai empat dan menemui Liza. Dia sedang berada di depan tumpukan buku yang berkaitan dengan Da Vinci Code. Ketika melihatku mendekat, dia langsung berseru, “Ci! Banyak banget buku-buku bagus!”

Lalu dia menunjuk ke arah buku-buku penyangkal cerita dalam buku Da Vinci Code. Sampulnya mirip-mirip semua. Tapi aku tidak tertarik sama sekali dengan pertentangan yang ada di dunia itu. Setelah mendengarkan adikku, aku berputar dan melihat komik-komik baru yang dipajang. Lalu aku dan adikku pergi ke bagian novel Teenlit-Chicklit. Setelah mengobrol sebentar, aku mengajak adikku pulang.

Kami naik angkot Antapani-Ciroyom dari samping restoran Popeyes. Ketika angkot itu sudah samapi di ujung jalan Gudang Utara, seorang teman yang kukenal naik ke angkot. Kami berdua yang saat itu sedang asyik membicarakan film, langsung berhenti ketika aku melihat Erik. Dia, aku yakin sekali, baru saja latihan Aikido di dojo Gudang Utara. Setelah bertukar kabar, Erik memutuskan untuk mampir ke kosanku sebelum pulang. Dia bilang dia sedang gak ada kerjaan, jadi ide untuk mengetahui tempat kosku tidak buruk menurutnya. Sepanjang perjalanan kami saling bercerita dan bertukar informasi. Bahkan sampai di kosan pun demikian. Aku tidak lupa untuk memperkenalkannya dengan adikku.

Ngomong-ngomong, Erik itu lulusan MM ITB tahun kemarin. Sekarang dia sedang menjadi asisten dosen di MM ITB. Selain itu juga, dia adalah salah satu seniorku di Aikido yang akrab denganku. Kami sudah lama tidak bertemu, semenjak bukan Mei yang lalu. Aku sudah tidak latihan lagi karena tugas akhir semester yang menumpuk. Dan sekarang aku malah keenakan tidak latihan. “Malas” adalah alasannya.

Dari obrolan dengannya, aku mendapat pinjaman film Gundam The Movie dan janji traktiran. Kemudian dia mengajakku untuk nonton bareng Batman Begins di BIP. Tapi aku sudah menonton film itu bersama anak-anak Aksara pada hari Selasa yang lalu. Jadi aku tidak bisa ikut nonton dengan anak-anak Aikido Gudang Utara.

Lumayan ya yang namanya silaturahmi? Hehehe...

Yang kami obrolkan macam-macam. Dari masalah kabarnya sampai masalah internal yang sedang terjadi di dojo Aikido ITB. Sebenarnya aku dan adikku akan ditraktir olehnya malam itu juga, tapi ternyata kami bertiga ternyata sudah kenyang semua. Jadi kukatakan saja bahwa traktirannya lain kali saja.

Dia pulang jam setengah sepuluh. Dia berjanji untuk memberi film-film Gundam pada hari Selasa 12 Juli di Salman. Asyiiiiiiik! Dan dia berjanji akan mampir lagi ke kosanku. Aku pun menunggu traktirannya.

Itulah akhir dari cerita tentang Malam Mingguan dariku. Semoga aku mendapat kesempatan untuk malam-mingguan dengan teman-temanku lain kali. Atau, dengan “orang dekat” sekalian, hehehe...

Monday, July 11, 2005

Kekaguman

Setelah seminggu tidak ke jurusan dan menyentuh lab komputer beserta internetnya, akhirnya saya kembali duduk dengan manis di depan salah satu komputer lab. Dan di dalam hati saya berkecamuk berbagai perasaan.Setelah membuka-buka blog teman dan mencermati isinya, saya mendapat ide untuk menulis tulisan ini. Iya, yang judulnya Kekaguman ini.

Dalam blog seorang teman saya, dia menulis sebuah tulisan pendek yang berisi kutipan dari temannya yang "menghilang perlahan". Dia mengatakan kalau dia mengagumi temannya itu.
Dari tulisannya, ada sebuah kata yang menyentak saya. Lebih tepatnya, sebuah frase. Frase itu adalah yang saya kagumi.

Dalam pikiran saya langsung diputar semua memori peristiwa-peristiwa yang sudah saya alami selama dua puluh tahun hidup saya. Tentu saja memori yang saya bisa ingat. Dan otak saya memilah memori-memori itu dan mencari memori yang berkaitan dengan frase ”orang yang saya kagumi”.

Ternyata saya tidak terlalu mudah untuk kagum dengan sungguh-sungguh terhadap seseorang. Orang-orang yang saya maksud di sini adalah orang-orang yang sudah saya temui dan saya kenal dalam hidup saya. Ketika di awal saya kagum pada penampilan pertamanya, tak seberapa lama kemudian saya akan mendapati bahwa orang itu tidak sehebat yang dikesankannya. Barangkali karena saya perfeksionis, ketika ada orang yang tampaknya sempurna namun kemudian ketahuan dia tidak sesempurna bayangan saya, saya jadi biasa saja tuh terhadap orang itu. Tidak takut, sungkan, atau bagaimanaaaa... gitu!

Bahkan terhadap Presiden RI sekali pun. Apa ada yang salah dalam diri saya?

Bener lho. Ketika otak saya mencari orang-orang mana yang saya betul-betul kagumi, yang keluar cuma ada satu nama: Rasulullah SAW.

Sebelumnya saya luruskan beberapa hal. Otak saya mengeluarkan nama Rasulullah bukan karena saya sebagai muslim yang ”merasa harus mengagumi beliau atas tuntutan iman”. Bukan pula karena beliau memang suri tauladan yang terbaik. Tapi karena Rasulullah benar-benar membuat saya terkagum-kagum. Bahkan bila saya sedang sedih dan membayangkan bagaimana bila saya bertemu Rasul, hati saya akan makin pilu dan air mata saya menitik.

Melihat keadaan saya dan melihat realita yang ada, saya tetap saja terheran-heran. Kenapa saya heran? Contohnya begini: Anda lihat perilaku fans-fans dari selebritis? Mereka, terutama perempuan, akan menjerit-jerit, berjingkrakan, bahkan sampai pingsan ketika melihat idola mereka. Contoh lainnya adalah sekelompok orang dalam sebuah sekte agama yang mau mati bersama karena tokoh yang dikagumi mereka meminta pengorbanan mereka untuk dirinya sebagai bukti cinta.

Ya, saya heran seheran-herannya. Kenapa mereka bisa begitu buta ya? Kok kekaguman mereka samapi taraf yang membahayakan jiwa mereka sendiri ya? Tidakkah mereka melihat kalau manusia-manusia yang mereka kagumi itu juga seorang manusia seperti mereka?
Well, saya memang tidak..., tepatnya belum mengerti alasan mereka itu. Saya yang sudah mendapat pengajaran dari Allah-lewat hidup saya-tentang kekaguman yang tidak perlu, merasa beruntung dan bersyukur karena saya tidak termasuk orang yang mudah kagum terhadap manusia lain. Saya akhirnya menyadari, barangkali orang-orang yang tenggelam dalam kekaguman berlebihan seperti di atas yang disebut mabuk atau tidak sadar. Mereka tidak punya kuasa atas apa-apa yang terjadi pada hidup mereka. Yang berkuasa adalah faktor-faktor eksternal yang sangat dominan bagi mereka.

Dan hal seperti inilah coba diberantas oleh Rasulullah empat belas abad yang lalu. Ada istilah taghut dalam Al Quran. Secara sederhana, taghut adalah segala hal selain Allah yang dipuja dan disembah oleh manusia. Taghut adalah hal-hal yang membuat manusia melupakan bahwa Allah adalah Yang Maha Tinggi, satu-satunya Tuhan yang patut disembah. Ketika manusia tenggelam dalam pemujaan kepada taghut, dalam realita duniawi, mereka mulai membuat kerusakan di muka bumi. Kerusakan macam apa? Minimal mereka tidak bisa lagi berpikir jernih terhadap kesalahan yang telah mereka buat. Lama-lama, keadilan akan bergeser menjadi ketimpangan. Kemudian, yang salah menjadi benar dan yang benar menjadi salah.

Tapi patut dicatat bahwa “kebenaran” yang saya sebut di sini adalah kebenaran berdasarkan nilai-nilai tauhid yang saya yakini. Karena bila tidak saya tegaskan, “kebenaran” sendiri menjadi bahan perdebatan panjang. Seperti yang dikatakan oleh Dart Sith dalam film Star Wars episode III, ”Rightness is depends on certain point of view”. Jadi saya menggunakan sudut pandang saya.

Eh, tapi Anda jangan menyangka bahwa saya berpendapat kalau mengagumi manusia lain tidak boleh, lho! Saya juga mengagumi orang lain kok. Yang saya maksud dalam tulisan ini, sebaiknya kekaguman terhadap orang lain itu ada dalam batas yang wajar. Contohnya mengagumi orang lain kemudian menjadi kita terinspirasi untuk mencapai kebaikan atau kesuksesan seperti orang yang kita kagumi.

Eh, kok jadi ngelantur jauh ya? Hihihi… Sudah dulu deh. Nanti makin jauh ngelanturnya.