Thursday, April 28, 2005

Asrama, Kucing, dan Gossssip!


Image hosted by Photobucket.com


Asrama
Aku tinggal di sebuah tempat kos di Bandung. Lokasinya di jalan Wiranta nomor 56. Biasanya sih aku menggunakan angkot Caheum-Ledeng bila hendak ke kampus. Teman-temanku sering heran, kok aku kos jauh-jauh begitu. Ah, well, alasannya panjang. Dan disini aku gak berniat membahas itu.

Jarak yang ditempuh untuk sampai ke tempat kosku lebih dekat bila dimulai dari jalan Ahmad Yani. Patokannya adalah STT Tekstil. Jalan Wiranta ada persis di seberangnya.

Kosan aku terpisah dari rumah induk. Maksudnya tidak satu pintu. Jadi seperti kontrakan gitu deh. Tempat kosku terletak di belakang rumah Pak Albert, pemilik kosan. Letaknya di sebuah gang kecil yang memanjang sejajar dengan jalan Wiranta. Di situlah aku tinggal selama dua tahun ini. Tempatnya yang nyaman membuatku enggan pindah, walau aku tinggal hanya sendiri. Di sebelah kananku dihuni oleh pria yang sama-sama mengontrak dari Pak Albert dan di sebelah kiriku ada asrama mahasiswa (pria) Tora-tora, Sulawesi Tengah.

Sekarang penghuni asrama sebelah tinggal sedikit. Aku mendapat info bahwa mahasiswa baru dari Tora-tora enggan memanfaatkan fasilitas gratis di asrama, dan memilih untuk mengontrak/kos sendiri. Wah, aku sih mau saja kalau ada asrama gratis buat mahasiswi dari Lampung…


Kucing
Di asrama sebelah ada dua ekor kucing. Dua-duanya berwarna kuning-putih, berekor panjang, dan kurus. Bedanya, yang satu ekornya mempunyai lingkaran menyerupai cincin yang jelas, satunya tidak. Lalu yang satu akrab denganku, bahkan hampir tiap hari mampir ke tempatku, yang satunya agak pemalu dan jarang keluar dari asrama.

Tadinya kucing kecil di asrama ada tiga ekor. Yang satu meninggal ketika masih berumur sebualn lebih. Aku menemukan mayatnya di depan pagar tetangga sebelah kananku. Malam sebelumnya hujan deras. Barangkali dia kedinginan dan gak bisa masuk lagi ke asrama karena belum bisa manjat dinding belakang asrama. Lantas aku menyingkirkan mayatnya itu ke tempat yang layak.

Kucing-kucing itu lahir dari seekor kucing betina yang sudah ada di asrama semenjak dia kecil. Jadi, kucing-kucing kuning itu generasi kedua dari kucing penghuni asrama. Aku mengetahui persis bagaimana sejarah kucing di asrama sebelah. Mulai dari saat belum ada kucing sama sekali, lalu satu malam yang bikin resah-karena mendengar suara kucing kecil mengeong entah darimana, kemudian ketahuan bahwa suara itu berasal dari sebelah (ada yang memungut kucing), hingga kemudian ditemukan lagi seekor kucing putih, lalu kucing putih pergi entah kemana, dan kucing yang akan menjadi induk kucing-kucing kuning akhirnya dewasa dan beranak.

Si induk kucing ini berekor panjang seperti anak-anaknya. Tapi warna bulunya itu gak jelas: Dasarnya hitam-abu dengan bercak putih-kuning kecil-kecil yang tersebar tidak merata. Persis seperti pensil warna berwarna hitam yang dicoretkan tidak merata hingga memenuhi kertas, lalu dibubuhi abu-abu, kemudian diberi aksen kuning dan putih. Jadinya warna kuning dan putih itu memenuhi bagian-bagian kertas yang tidak dipenuhi warna hitam.

Tapi anak-anaknya tidak ada satupun yang mengikuti ibunya!

Barangkali ikut bapaknya. Bapaknya itu kayaknya yang warna kuning-putih dan berekor panjang juga. Eh…, sebenarnya ada dua sih kucing yang warnanya kuning-putih yang beredar di sekitar tempat kosku. Yang satu itu yang baru aja disebutin, yang mukanya lumayan. Yang satunya lagi yang tampangnya mirip preman: Muka lebar, badan penuh bekas luka, buluk deh bulunya, dan ekornya pendek. Wallahu’alam…

Anak kucing yang meninggal itu warnanya juga gak jelas: Putih dengan sedikit kuning pucat atau kuning pucat sekali? Putih bukan, kuning juga bukan. Wallahu’alam lagi.

Aku menyebut anak kucing yang sering main denganku itu “sombong”. Kadang-kadang suka cuek sih kalo dipanggil. Awalnya bingung mau manggil dengan sebutan apa. Akhirnya kupanggil “sombong” saja karena dia menengok kalau dipanggil, hehehehehe… .

Dia mampir ke tempatku di saat aku sudah pulang ke rumah. Kalau tidak ba’da Magrib, yaaa…, ba’da Isya. Dia kuajak masuk dan kami pun bermain-main. Kubelai-belai bulunya (setelah itu aku mengibaskan seluruh pakaianku karena bulunya banyak yang rontok dan mencuci tangan). Bila kubelai, dia akan mendengkur. Bila kucing mendengkur, itu berarti dia merasa nyaman. Hal itulah yang bisa dijadikan patokan bagi kita untuk mengetahui perasaan kucing.

Kadang bila aku tidak mendapatinya menungguku di depan pintu di malam hari, ketika aku membuka pintu di pagi hari, dia akan langsung meloncat masuk. Kalau aku baru membuka pintu ketika mau berangkat ke kampus dan sedang buru-buru, aku mengatakan padanya kalau aku mau pergi. Dan kusampaikan kalau dia bisa bermain denganku malamnya.

Aku benar-benar mengatakan itu padanya. Dia mengerti kok. Gak percaya? Binatang bisa kok memahami pembicaraan manusia…

Ngomong-ngomong, dia sekarang sudah berusia "remaja".


Gosip! Gosip! Gosip!
Baru belakangan ini saja aku mengobrol dengan Teh Rina, putri ketiga dari Pak Albert. Selama ini aku memang agak jarang berinteraksi lebih jauh dengan tetangga sekitar. Mungkin karena bukan di lingkungan ITB, kali ya? Mungkin karena aku juga pergi-pagi-pulang-malam. Dan bila di kosan pun aku lebih suka di dalam.

Dari obrolan itu, Teh Rina bercerita, “Les, si X, anak asrama, pernah nanya tentang kamu.”

“Oh ya? Nanya apa?”

Nanya nama kamu. Trus saya bilang ke dia untuk kenalan. Masak tetanggaan tapi gak kenalan…”

Aku manggut-manggut.

Trus dia heran kamu itu bawa cowok ke rumah, padahal kamu kan berjilbab. Saya bilang aja kalo itu adek kamu, bukan orang lain.”

“Ooooo…,” aku menyahut.

(Adikku yang pertama bersekolah di Sekolah Menengah Farmasi Bumi Siliwangi (Bumsil) di UPI. Selama periode tertentu, dia pernah tinggal di tempat kosku. Sekarang dia bekerja sebagai asisten apoteker di Lampung. Kabar terakhir yang kudapat darinya, dia ingin kuliah sambil bekerja…)

Aku senang juga mendapat kabar itu. Senangnya karena ketika ada yang berpotensi menimbulkan gosip, ada yang menjadi perpanjangan lidahku untuk meluruskan kabar angin tentangku. Dalam hal ini Teh Rina. Dan ternyata aku tidak terlalu “tidak dikenal”.

Semenjak itu aku rutin menyambangi Teh Rina ketika dia sedang jaga warung. Misalnya ketika aku hendak membeli nasi atau sedang perlu teman mengobrol. (Pak Albert punya warung kelontong sekaligus warung nasi, tapi hanya melayani pembelian untuk dibawa pulang, tidak untuk makan di tempat. Yang bisa makan di tempat adalah penghuni kos di kosan Pak Albert. Seperti aku contohnya. Dan tetangga sebelah kananku…). Kadang-kadang juga aku ikut nonton TV bersama dia. Baru-baru ini aku pun janjian dengan Teh Rina untuk sama-sama berbelanja di Pasar Baru.

Baguslah! Ada perkembangan, pikirku. Perkembangan dari sosialisasi dengan tetangga maksudnya...

Sebel!

Hari Senin tanggal 25 April kemarin aku tidak ada kuliah. Oleh karena itu aku memanfaatkan waktu untuk duduk di depan komputer di lab kompie jurusan Matematika. Biasa lah, menuliskan ide-ide yang berputar di kepala dan berkelana di internet.

Aku mengaktifkan Yahoo Messenger juga. Di saat aku sedang asyik-asyiknya mengetik, muncul "kotak chatting" dari seseorang yang tak kukenal. Alhasil, kami berkenalan dan chatting.

Lalu dia mengatakan kalau dia ingin bertanya sesuatu. Kujawab, "Ok, selama aku mampu jawab...". Lalu dia bertanya tentang s**!

Sebaaaaaaaal...

Kok bisa-bisanya ya orang tuh nanya sesuatu yang rada ... kepada orang yang baru dikenalnya?! Gak sopan banget!!!

Dulu juga pernah ada orang yang begitu. Tapi suasana hatiku sedang bagus. Maka kuladeni dia dan kujawab pertanyaannya dengan sopan. Kemudian saat dia tahu aku berjilbab, obrolannya berubah 180 derajat! Jadi sopan banget, gitu loh! Sampai menelpon segala, lagi. Tapi kemudian dia tidak pernah menghubungi aku lagi.

Malu kali ye...?

Wednesday, April 27, 2005

Kasih Ibu


Image hosted by Photobucket.com


Kasih ibu
kepada beta
Tak terkira sepanjang masa...

Hanya memberi
tak harap kembali
Bagai sang surya menyinari dunia...

Mom: In Memoriam


Image hosted by Photobucket.com


Semalam, aku tiba-tiba ingat Mama. Dan aku ingat kalau sekarang adalah bulan April. Pikiranku pun melayang pada hari Ibu, lima tahun yang lalu…


Jum’at, 20 Desember 2000. Mothers’ Day. Aku ditinggalkan oleh Mama untuk selama-lamanya. Aku tidak berada di sampingnya saat malaikat mencabut ruhnya. Adik perempuanku yang menyaksikannya. Hanya beberapa menit selepas azan Subuh. Setelah sebelumnya Mama tampak memandangi satu titik di langit-langit kamar rumah sakit. (Bibiku mengatakan bahwa mungkin saja saat itu Mama sedang menyaksikan film tentang seluruh kehidupan yang telah dijalaninya di dunia). Aku tidur di rumah malam itu. Dan aku baru mengetahui jam tujuh pagi.

Ya, hanya delapan bulan semenjak Mama pulang dari poliklinik sambil menangis hebat. Dan itu terjadi di bulan April. Kala itu kami, anak-anaknya, tidak mengerti apa yang terjadi. Yang kami tahu Mama hanya menangis. Lalu kemudian menelpon Papa yang sedang bekerja. Malam harinya baru kami ketahui bahwa Mama mengidap kanker mulut rahim.

Semenjak itu, konsultasi dengan dokter spesialis, kemoterapi, melakukan perjalanan pulang-pergi ke RSCM, berjalan di lorong RSCM Jakarta, menebus obat, menjadi bagian dari keseharian kami. Aku kembali terkenang pada masa-masa itu ketika aku berjalan di lorong RSHS Bandung. Dan ari mata pun menitik. Tidak ada yang dapat menandingi memori itu.

Dua hari sebelum wafatnya Mama, Mama memaksa untuk dipulangkan. Para suster tidak mengizinkan. Kondisi Mama bertambah parah. Kanker di rahim yang hanya stadium I sudah berhasil diangkat. Namun belakangan ketahuan bahwa kanker itu sudah menjalar hingga ke kaki (bahkan sudah stadium IV! Riwayat perawatan Mama pun disimpan oleh professor bagian kanker, karena kanker Mama termasuk yang baru jenisnya…). Tapi Mama orang yang keras hati. Maka dengan berat hati Mama diperbolehkan pulang. Bahkan Papa pun tidak diberi tahu (yang kemudian beliau sangat marah karenanya). Papa sedang bekerja saat itu.

Kami pulang ke Bekasi menggunakan taksi. Sopir taksi yang kami stop tampak enggan untuk mengangkut kami awalnya. Kondisi Mama sangat payah dan tampaknya menyulitkan bagi si sopir. Saat sampai di rumah pun kami tidak bisa langsung masuk karena kuncinya tidak ditinggalkan Papa di rumah. Karena kebaikan hati tetangga depan rumah, Bibi dan Mama bisa menunggu tanpa harus kepanasan di depan rumah.

Lantas esoknya Mama ingin kembali ke rumah sakit lagi. Tentu saja itu membuat hati Papa jeri. Apalagi para suster yang berada di paviliun bagian kanker. Dan keesokan paginya Mama meninggalkan dunia selama-lamanya.

Barangkali Mama ingin melihat rumah untuk yang terakhir kalinya...



Aku sayang pada Mama, terlepas dari semua kekurangannya. Sungguh, aku kehilangan Mama di saat aku belum memahami benar keadaanku. Dan itu yang menyebabkanku merasa belum mengenal Mama dengan baik.

Yang lekat di dalam ingatanku hanyalah Mama yang keras. Dan itu yang menjadi penyebab dari kurang dekatnya aku dengannya semasa aku remaja. Namun dibandingkan Papa, aku masih lebih dekat dengan Mama. Aku mengumpamakannya dengan tokoh wanita dalam novel Sidney Sheldon, Ratu Berlian. Gambaran Mamaku kurang lebih seperti itu. Namun bila kugali lebih dalam, banyak aspek dari Mama yang ternyata luput dari perhatianku selama beliau masih ada.

Aku mengabaikan fakta bahwa Mama sangat menyayangi anak-anaknya dengan caranya sendiri. Mama pun sebenarnya punya kelembutan hati. Aku teringat saat aku hendak mengikuti lomba baris-berbaris di Bandung. Aku harus berangkat jam empat pagi. Dan Mama mengizinkan aku pergi walau sebelumnya sangat menentang kegiatanku selama latihan (soalnya aku pulang malam terus). Lalu aku teringat lagi ketika aku bangun jam dua malam karena mau belajar untuk ujian di pagi harinya. Mama pun keluar kamar dan menanyakan keadaanku, menemani diriku sejenak.

Dulu perhatian seperti itu rasanya biasa saja. Namun kini kusadari kalau perhatian seperti itu sungguh berarti....

Aku senantiasa berdoa seperti ini pada Allah bila aku ingat Mama: Aku berharap agar semua penderitaan di akhir hayatnya menjadi penggugur dosa-dosanya., Allah melapangkan serta menerangi kuburnya, dan memeberikan tempat terbaik di sisiNya.
Aku sempat terpikir untuk menelusuri masa lalu orangtuaku, bagaimana mereka bertemu, bagaimana kehidupan mereka ketika kami masih kecil-kecil, dan perjalanan usah mereka. Dan saat aku ke Jakarta untuk menghadiri pernikahan teman baikku, aku mendapat potongan sejarah itu.

Rumah Bibiku (kami, keponakannya, memanggil beliau Bu Dara) baru saja direnovasi. Barang-barang (terutama buku-buku) sedang ditata-ulang. Gudang pun sedang ditata-ulang. Bu Dara memintaku untuk memilah-milah mana barang-barang yang tidak terpakai lagi. Di tengah barang-barang itu, kutemukan surat-surat berharga dari aset yang pernah dimiliki orangtuaku. Aku menekuri semuanya. Walau hanya surat-surat bank dan lain-lain, benda-benda itu sangat berharga buatku. “Biar kamu tahu sejarah orangtua kamu, Les. Simpan ya…” komentar Bu Dara.

Yang kemudian terngiang dalam kepalaku adalah lagi Kasih Ibu.


I love you Mom…

Wednesday, April 20, 2005

Theme Song

Sometimes, in certain situation, a song pop up in my head. And it take few seconds or few minutes or few hours or even few days for me to realize the connection between that song and the situation that time. But I couldn't always found that connection. I often wonder what's in that song that related to me.

That's what happened on Friday, April 15th. I was sitting in front of computer when suddenly a song from Layla Kalif played in my head. At first, I didn't notice it. Because I'm doing something that needs my concentration. Then I realized this:

He's fought and he's fallen
He's on his knees before he's on his feet
A sinister romantic
Oh, he's about to be and she's about to see

Teachin' torches to burn bright
She's hanging on the cheek of night
A snowy dove trooping with crows
He never saw true beauty till tonight

CHORUS:
She'll take him to the brink of deliverance
Show him that much
Oh, don't you know it
Oh, don't you know it
So he falls in love to feel that he's falling
She'll let him know his heart
Oh, don't you know it
Oh, don't you know it
That's Shakespeare in love

He's fought and he's fallen
He's on his knees before he's on his feet
A glittery romantic
Oh, he's about to be and she's about to see

His bounty's boundless like the sea
His love is endless, just as deep
The more he gives the more he has
`Cause both of them are truly infinite

CHORUS

That's Shakespeare in love

A sinister romantic
He's on his knees before he's on his feet

CHORUS

That's Shakespeare in love


Till now, I still don't know who the one that fall in love. Is it me? It is a mistery...

Thursday, April 14, 2005

Cantik: Versi Saya versus Versi Orang Lain

Saya tidak secantik Dian Sastro atau Tamara Blezinsky atau Nicole Kidman dan "atau" yang lainnya.

Tapi kadang-kadang pengen juga dikagumi orang (i have a certain background that made me have such thinkin'). Barangkali karena tampang ini bukan tampang yang bikin orang langsung kagum, jadi jarang dapet pujian "cakep" atau semacamnya. Dan keinginan ini muncul (biasanya) saat saya lagi capek emosinya.

Tapi (lagi), kalo dipikir-pikir, repot juga ya kalo punya tampang "di atas rata-rata"? Resiko untuk dicintai karena tampang bukan karena kepribadian lebih besar. Dan yang lebih utama lagi, resiko untuk ujub atau sombong karena tampang jauh lebih BESAR! Yah, banyak yang bisa disyukuri dari tampang yang biasa-biasa aja ini.

Kadang-kadang juga (saat kondisi emosi yang lagi capek juga), saya merasa kalau tampang saya ini jeleeeeeeeeeeeeeeek banget. Apalagi kalo dibandingkan yang lebih cantik. Kalo udah begitu, bisa dipastikan kalo kondisi hati lagi payah, suntuk, dan gak ngeliat yang lebih di bawah. Bukankah kalo urusan dunia kita harus melihat ke bawah, bukan ke yang lebih atas? Hehehehe...

Yah, apa yang tercermin di wajah adalah cerminan kondisi hati...

Saya beberapa kali mendapat pujian "cakep/cantik" dari beberapa orang. Di awal-awal, wuiiiiiiiiiiiih, rasanya kok terlalu berlebihan ya? Apalagi dalam diri ini sudah ada image kalo tampang ini biasa aja. Namun belakangan, setelah dapet ilmu yang cukup memadai, kalo ada yang memuji, saya segera memeriksa kondisi hati dan jiwa.

Dan hasilnya?
Kondisi hati saat itu memang sedang bagus sekali dan tenang. Hati sedang tidak banyak keinginan dan hasrat. Hati sedang bersih. Pikiran jernih. Yah, yang terlihat di wajah bisa merupakan cerminan hatinya. Dan kali ini saya melengkapi kalimat barusan dengan "buat sebagian orang benar, buat sebagian lagi mungkin tidak".

Versi "cantik" yang mana yang harus dipercaya? Saya sih tidak ingin ujub. Bahaya! Lebih baik berdoa saja:

Ya Allah, sebagaimana Kau telah membaguskan rupaku, perbagus pula akhlakku. Amin...

Metamorfosis

STAY THE SAME (Joey Mc'Intyre)

Don´t you ever wish you were someone else
You were meant to be the way you are exactly
Don´t you ever say you don´t like the way you are
When you learn to love yourself, you´re better off by far
And I hope you always stay the same
Cuz there´s nothing ´bout you I would change

I think that you could be whatever you want to be
If you could realize, all the dreams you have inside
Don´t be afraid if you´ve got something to say
Just open your heart and let it show you the way

Belive in yourself
Reach down inside
The love you will find will set you free
Believe in yourself , you will alive
Have faith in what you do
You´ll make it through



This song have touched my heart since the first time i heard it. Maybe because it reflects my condition in the past. If u saw me five years ago, u wouldn't believe that i'm the same person.

Dulu aku gak pe-de banget. Liat orang lain yang tampak lebih keren rasanya malu banget. Merasa diri ini tiada berharga dibanding mereka.

Thank u to all my friends who have faith in me, that i'm a precious being, that i'm unique. Everybody's precious....

Terbang

Semalam aku bermimpi tentang hal yang sama lagi: Aku bermimpi terbang dan melayang. Menurut kuis yang pernah kuikuti di Tickle.com, orang yang sering bermimpi terbang/melayang itu orang yang senantiasa mencari bentuk kebijaksanaan tertinggi.

Well, i don't know wether i should trust that or not. Mimpinya bertema sama: Aku terbang (seperti Peterpan) dengan kecepatan tinggi karena mengejar sesuatu atau menghindari sesuatu. "Petualangan" yang kualami dalam mimpi itu begitu seru. Entah tentang kejar-kejaran dengan alien, atau terbang di tengah hutan, atau lari sekencang-kencangnya karena dikejar sesuatu.

Barangkali aku memang ingin terbang kali ya? Entahlah. Mungkin juga karena aku ingin menggapai sesuatu yang hanya bisa dilakukan bila aku bisa terbang. Beyond that, it's really fun to have those kind of flying experiences. Even tough it's only in my dream....

Mimpi-mimpi itu adalah refleksi dari kehidupanku sehari-hari. Apakah aku sudah bisa terbang atau belum, aku tidak tahu...

Wednesday, April 13, 2005

Subhanallah, unik ya?


Image hosted by Photobucket.com





Ini namanya mawar Orange 'n Lemon.  Ales dapet dari internet, di situs ARS, asosiasi mawar di  Amrik. Jadi pengen punya bibitnya...


Monday, April 11, 2005

Teknologi

Sewaktu lagi membuka-buka file di drive H, saya melihat artikel-artikel yang saya tulis dulu. Wah, saya pikir, lebih baik saya posting di sini aja deh. Mumpung blogger.com lagi bisa diakses (selama seminggu kemarin sempat susah diakses dari lab kompie jurusan Matematika), saya posting artikel saya sebanyak-banyaknya.

Saya pernah berkeinginan untuk terus hidup. Tidak ingin mati. Alasannya adalah karena saya ingin menyaksikan teknologi yang dapat dicapai oleh manusia. Konyol ya?

Saya memang senang pada segala sesuatu yang berbau “masa depan” atau science fiction. Segala kemajuan teknologi yang dapat dicapai manusia tampak mengagumkan bagi saya. Oleh karena itulah saya bisa sampai berkeinginan untuk bisa panjang umur di dunia.

Saya mulai berpikir seperti salah seorang yang begitu memuja teknologi. Padahal pada awalnya teknologi itu dikembangkan untuk mempermudah urusan manusia. Dengan kata lain, teknologi merupakan alat, bukan tujuan.

Sampai situ saya beristighfar. Saya mengingat-ingat lagi bagaimana seandainya nyawa saya diambil saat ini, sementara hati saya masih lekat pada dunia. Saya kembali bersitighfar, kali ini berulang-ulang.

Mungkin seperti itulah kira-kira yang terjadi pada sekelompok orang pemuja kemajuan teknologi. Teknologi adalah segalanya. Mereka tidak bisa hidup tanpa teknologi. Kalau saya masih sebatas keinginan, mereka benar-benar tampak seolah menjadikan teknologi sebagai Tuhan.

Namun saya tidak bermaksud untuk membicarakan pro-kontra dalam masalah teknologi. Tidak. Tapi saya akan membicarakan ini:
Teknologi yang dicapai manusia (ilmuwan-ilmuwan) makin rumit. Dan teknologi yang ada memiliki kecenderungan untuk meniru organisme-organisme yang ada di alam. Contoh yang paling jelas adalah Artificial Intelegence dan pembuatan robot yang fungsinya mendekati mahluk hidup aslinya.

Ketika memikirkan hal itu, hati saya tergelitik oleh satu fakta. Bukankah tindakan “meniru sedekat mungkin mekanisme mahluk hidup” menunjukkan kalau ciptaan Allah itu luar biasa? Sepandai-pandainya manusia, dia tetap tidak bisa membuat satu pun sel mahluk hidup. Bahkan akhirnya manusia akan mengakui bahwa teknologi tercanggih sudah ada dari dulu.

Ya. Salah satu teknologi itu ada pada diri kita. Pernah berpikir bagaimana kulit dengan berbagai fungsinya yang luar biasa bisa melekat dengan sempurna di otot kita? Pernah berpikir betapa kuatnya bahan pembuat otot jantung, sehingga jantung bisa berdetak tanpa henti hingga akhir hayat kita? Pernah berpikir betapa jelasnya gambar yang bisa ditangkap oleh mata kita? Pernah berpikir betapa jelasnya suara yang bisa didengar oleh telinga kita, sementara teknologi tata suara termaju pun masih memiliki desisan dalam penerimaannya? Dan masih banyak lagi hal yang bisa saya sebut dan semuanya adalah keajaiban.

Kalau saja setiap manusia mau merenungi hal itu. Dunia ini akan menjadi tempat yang lebih baik. Apakah Anda sudah memikirkannya?

Ups! Kok Buang Sampah Sembarangan?

Ada satu hal yang saya senangi betul dari kampus di jalan Ganesa 10. Hal itu adalah kehijauan dan keasrian yang sangat terasa bila seseorang memasuki kampus ini. Dimana-mana terdapat pohon yang besar dan rindang, yang dapat memberi kesejukan di hari yang terik. Dan juga terdapat berbagai tanaman rambat dan hias di setiap sudut-sudutnya.

Kebersihan kampus ini pun terjaga dengan baik. Tempat-tempat sampah disediakan di tempat yang mudah terlihat dan terjangkau. Bahkan kini pihak kampus menyediakan tempat sampah yang “mengklasifikasikan” sampah yang bisa dimasukkan ke dalamnya (itu lho, yang warna tutupnya merah-kuning-hijau, di langit yang biru…). Jenis sampahnya dada tiga, yaitu sampah kertas, sampah plastik/kaleng, dan sampah organik. Bahkan, ada petugas-petugas kebersihan yang memang “beroperasi” setiap pagi dan sore; sebelum jam kuliah, selama jam kuliah di pagi hari, dan sore hari. Klop deh! Kampusnya bersih dan hijau. Pihak kampusnya care terhadap masalah kebersihan. Kurang apa lagi, coba?

Ada yang kurang! Yaitu kesadaran akan “pentingnya menjaga kebersihan” sekelompok mahasiswa yang kuliah di situ. Benar lho. Bukan diada-adain. (Kata “sekelompok” saya ketik miring untuk menegaskan bahwa tidak semua mahasiswanya begitu. Jadi bagi yang sudah punya kesadaran lingkungan yang bagus, jangan merasa tersindir ya!).

Saya sering merasa miris dan prihatin ketika menyaksikan sebuah ruangan kuliah penuh dengan sampah kertas dan plastik (sampah dari yang kuliah di ruangan tersebut sebelumnya). Padahal saya tahu betul kalau ada petugas yang membersihkan ruangan itu setiap pagi, siang, dan sore. Dan, tempat sampah tersedia.

Lantas saya berpikir, apakah berat untuk sekedar berjalan menuju tempat sampah atau menyimpan sampah sampai menemukan tempat sampah terdekat? Saya rasa tidak.

Orangtua saya tinggal di daerah Tanjung Duren, Jakarta Barat. Rumah orangtua saya berada agak jauh dari jalan raya, jadi, saya harus berjalan dulu ke dalam komplek. Setiap kali saya ke sana, saya akan melewati sebuah jembatan yang melintasi sebuah sungai. Dan pemandangan yang saya saksikan di kali itu sungguh memilukan hati saya.
Di sungai tersebut, sampah menggunung serta airnya hitam dan bau (memangnya ada sungai di Jakarta yang tidak hitam dan bau?). Dan di sungai itulah sebagian dari masyarakat (kecil) kita mencari nafkah. Entah menjadi petugas yang membersihakan sampah dari sungai tersebut, atau menjadi “pemulung air” dengan mencari sampah yang layak daur ulang.

Demi sesuap nasi mereka menjalani pekerjaan itu. Padahal tidak ada akomodasi dan asuransi kesehatan yang disediakan oleh pemerintah bagi lapangan pekerjaan macam itu. Coba Anda bayangkan, bagaimana rasanya berkubang di air sungai yang hitam dan bau, yang airnya setinggi pinggang sampai leher, hanya untuk memilah-milah sampah? Jauh-jauh membicarakan asuransi kesehatan, penghasilan dari profesi ini pun tidak menjanjkan sama sekali! Jadi, bagi para pekerja –pekerja itu, keselamatan dan kesehatan diri ada di urutan yang entah keberapa. (Jujur saja, saya sih tidak sanggup untuk menjalani hal itu).

Yang terjadi di sungai itu baru salah satu diantara puluhan tempat di Jakarta. Dan hal ini adalah akibat dari reaksi berantai yang panjang dan terjadi terus-menerus sampai sekarang:
Seseorang membuang sampah sembarangan. Entah itu sedikit atau banyak. Ke darat maupun ke air (baca: ke jalan atau ke saluran air/sungai). Kalau yang melakukan itu hanya satu orang, mungkin bukan masalah (ini bukan pembenaran untuk membuang sampah sembarangan lho). Kemudian, yang terjadi persis seperti pepatah “sedikit-sedikit, lama-lama menjadi bukit”. Air sungai meluap di kala musim hujan, akibat dari tersumbatnya saluran-saluran air oleh sampah. Banjir melanda daerah tersebut. Penyakit pun mewabah dengan cepat. Pemerintah disalahkan oleh masyarakat. Dicap tidak becus mengurusi kebersihan wilayah. Pemerintah menyerang balik. Masyarakat disalahkan atas kebiasannya membuang sampah seenaknya. Dan seterusnya, dan seterusnya….

Coba Anda cari tahu berapa jumlah penduduk di Jakarta saja. Dan kalikan dengan jumlah rata-rata produksi sampah yang dihasilkan per orang per hari. Maka Anda akan mendapatkan jumlah sampah yang pengalinya berukuran ton kilogram! (Dan itu salah siapa?.) Itu yang terjadi di Jakarta sampai sekarang. Dan saya tidak bermaksud untuk mencari kambing hitam. Sekarang, bagaimana dengan Kota Kembang? Tanda-tanda menuju ke arah sana sudah terlihat. Apalagi tanda itu dikuatkan oleh peristiwa di Leuwigajah bulan lalu. (Sungguh, lho, saya gak tau kalau ada tempat yang namanya Leuwigajah sebelum terjadi peristiwa longsornya TPA Leuwigajah!).

Memang ini bukan masalah di beberapa tempat saja. Secara umum, kesadaran masyarakat Indonesia akan lingkungan masih rendah (kalau mengambil rata-rata, yang sudah sadar lingkungan akan merasa dirugikan karena disama-ratakan, hehehe…). Alasannya kadang-kadang agak klise: “Bagaimana mau mikirin sampah, mikirin perut aja udah repot!”.

Namun, “urusan perut” rasanya kurang tepat untuk dijadikan sebagai alasan bagi penyebab masalah kebersihan ini. Yang lebih tepat mungkin adalah karena terbiasanya seseorang untuk membuang sampah seenaknya kemudian kurang peduli akan akibatnya!
Setelah dirunut-runut, faktor mental (kebiasaan) sangat berperan di sini. Jadi, kalau ingin mendapat hasil yang signifikan dari permasalahan sampah, ya harus ada kerjasama dari pihak pemerintah dan masyarakat. Mungkin pemerintah bisa melakukan himbauan atau kampanye (yang serius dan berkesinambungan tentunya) tentang pentingnya menangani sampah dengan benar. Bahkan kalau mau yang lebih serius lagi, kampanye ini seharusnya ditargetkan kepada kelompok masyarakat yang berusia muda sejak dini. Supaya di masa mendatang, generasi selanjutnya sudah sadar seluruhnya akan pentingnya kebersihan.

Mulailah dari sekarang, agar kita bisa menuai hasilnya nanti. Masih saja, ketika saya menyaksikan (live dari tempat kejadian perkara) seseorang mahasiswa membuang sampah ke jalan (di kampus Ganesa 10), saya akan teringat tentang sebuah sungai di Tanjung Duren. Saya juga akan berpikir dengan sedih.” Cakep-cakep kok buang sampah sembarangan?”.

(Untuk semua yang merasa sudah saya sindir habis-maaf ya…: Kalau bukan kita, siapa lagi?)

Sehari Bersama Nur & Kawan-kawan

Bila Anda pernah mengunjungi Bandung Indah Plaza, Anda tentu akan mendapati pemandangan berikut: Ada seorang anak kecil yang berbaring di pinggir jalan, di sebelah pintu masuk BIP untuk kendaraan bermotor. Pakaiannya kumal, badannya sangat kotor, dan di depan pembaringannya terdapat kaleng berisi uang recehan. Di setiap waktu, orang akan mendapati dia menangis dengan keras, meminta perhatian. Entah ada di mana orangtuanya. Sungguh suatu pemandangan yang memilukan bagi pejalan kaki di sekitarnya. Karena itulah keping demi keping mengalir masuk ke dalam kalengnya. Kemudian di satu waktu pada hari itu, dia akan pindah ke sisi lain dari BIP, yaitu ke pinggir pintu masuk utama dari BIP. Dan dia pun melanjutkan aksi yang serupa dengan di tempat sebelumnya.

Pengemis anak-anak sudah menjadi pemandangan yang lumrah di tempat-tempat keramaian di pusat kota. Jumlah mereka meningkat seiring dengan pertambahan jumlah pengangguran di kota Bandung. Anak-anak ini telah dijadikan alat untuk mencari nafkah bagi keluarga mereka atau yang mengurus mereka. Konsekuensinya, masa kecil mereka diisi dengan kehidupan jalanan yang keras dan kadang kejam bagi seorang anak kecil. Semua itu demi memproleh penghidupan yang lebih baik, yang saat ini juga dirasakan oleh mayoritas penduduk negeri ini. Saya dan teman-teman pernah berusaha untuk menelusuri keseharian mereka. Tidak dipungkiri bahwa masyarakat kadang bersikap skeptis terhadap mereka. Mengapa? Salah satu alasannya adalah fakta bahwa pengemis di kota besar bisa memiliki rumah mewah di kampungnya, hanya dari mengemis. Namun apakah semua pengemis begitu? Bagaimanakah kehidupan mereka selama menjadi pengemis? Apakah benar-benar seburuk penampilan mereka? Siapakah yang telah memanfaatkan mereka sebagai alat pencari uang?

Kegiatan para pengemis anak-anak dimulai di pagi hari, jauh sebelum Ujang menggelar dagangannya, dan berakhir di malam hari, jauh setelah Ujang pulang ke rumah. Ujang adalah salah satu pedagang rokok yang mangkal di depan BIP. Dia datang jam sembilan pagi, di saat pusat perbelanjaan baru buka. Ujang tidak tahu kapan pengemis-pengemis itu datang. Yang jelas, para pengemis tersebut sudah berada di “pos”-nya masing-masing setiap pagi.

Salah satu dari pengemis anak-anak itu bernama Nur. Nur adalah seorang siswa kelas dua sekolah dasar yang berlokasi di Sukajadi, di dekat kontrakan yang menjadi tempat tinggalnya. Bapaknya adalah buruh serabutan, sementara ibunya berjualan. Dia tidak menyebutkan lebih jauh tentang keluarganya. Setiap hari, seusai sekolah, Nur diantar Ibunya ke BIP. Bila dari sekolah penampilan Nur tidak ubahnya seorang siswa sekolah dasar, maka ketika sudah sampai di BIP Nur bukanlah lagi siswa SD. Ibunya sudah mempersiapkan pakaian “dinas” bagi putrinya: Kumal, tidak pernah dicuci, dan membuat penampilan Nur sebagai pengemis anak-anak sangat meyakinkan. Setelah berganti baju, Nur mulai beroperasi di sekitar BIP. Setelah pekerjaannya selesai, dia pun dijemput kembali oleh ibunya. Penghasilannya? “Kalo lagi rame mah bisa dapet lima puluh ribu, Teh”, akunya.

Ada lagi anak yang bernama Udin. Bersama adiknya yang bernama Ncep, Udin menjadi pengemis juga atas suruhan orangtuanya. Orangtuanya tidak bekerja lagi. Oleh karena itu mereka menggantungkan penghasilannya pada Udin dan Ncep. Hal yang sama juga dialami oleh Siti, Dina, Sotar, Bambang, Ijal, Deni, dan masih banyak lagi anak-anak lain. Karena sulitnya mencari pekerjaan dan mengetahui bahwa penghasilan yang didapat dari mengemis lumayan, maka menjamurlah praktek-praktek eksploitasi anak oleh orangtua mereka sendiri. Khususnya di BIP.

Ketika diwawancarai, para pengemis itu menjawab dengan kejujuran dan kepolosan khas anak-anak. Dengan terus terang mereka menceritakan keadaan mereka sehari-hari ketika mengemis. Dan itu wawancara bukannya tanpa hambatan. Contohnya ketika mewawancarai Udin dan Ncep. Entah darimana datangnya, seorang Ibu dengan raut wajah tidak senang mendatangi salah satu teman kami. Agar kegiatan wawancara tidak terganggu, salah seorang dari wartawan mengajak Ibu tersebut untuk mengobrol. Dari pembicaraan diketahui bahwa Ibu itu adalah orangtua dari Udin dan Ncep. Dia curiga melihat ada orang asing yang mendekati anak-anaknya. Khawatir pekerjaan anak-anaknya terganggu. Namun akhirnya Ibu tersebut menunjukkan sikap respek saat mengetahui niat baik dari kami. Ibu tersebut kemudian malah menceritakan kondisi para pengemis di situ.
Pengemis yang berada di sekitar BIP rata-rata bertempat tinggal di Ciumbeuleuit-Cihampelas dan Sukajadi. Kedua area ini merupakan tempat yang banyak dihuni oleh komunitas pengemis. Pengemis-pengemis tersebut berkelompok berdasarkan asal daerah. Ada kelompok yang berasal dari daerah Jawa Tengah dan ada kelompok yang memang merupakan penduduk Bandung. Ibu ini berasal dari Jawa Tengah dan bertempat-tinggal di Sukajadi.

Sementara itu, dari para pengemis diperoleh fakta-fakta yang lebih dalam. Mereka, seperti umumnya anak-anak yang hidup di jalanan, mempunyai perilaku yang kasar. Namun mereka masih menunjukkan sikap hormat ketika diwawancarai. Wajar saja mereka bisa berperilaku begitu karena mereka dikelilingi oleh komunitas “hitam”: Preman, gerombolan pengamen biasa maupun punk, dan geng-geng jalanan yang tidak kasat mata karena berbaur dengan pengunjung BIP yang memang memenuhi pinggir jalan. Pedagang rokok seperti Ujang mengeluhkan kenakalan para pengemis itu. Mereka sering memaksa agar diberikan permen. Namun akhirnya mereka mencuri dari Ujang. Sekedar sebutir-dua butir permen memang. Ujung-ujungnya dibiarkan juga karena Ujang tidak mau berurusan lebih jauh dengan orangtua mereka. Soalnya orangtua mereka juga kadang meminta rokok tanpa membayar. Ujang hanya mau memberi yang harganya murah. Kalaupun meminta yang harganya mahal, Ujang memberi potongan harga.

Yang lebih mengenaskan lagi, pelecehan seksual merupakan makanan sehari-hari bagi sebagian dari para pengemis anak-anak itu. Pengemis anak-anak memang sangat mudah untuk mendapat perlakuan tidak senonoh dari orang yang lebih dewasa. Pertama karena kelamnya kehidupan mereka. Yang kedua karena mereka sendiri tidak terlalu mengerti apa yang terjadi dengan diri mereka. Usia mereka yang rata-rata masih dalam usia sekolah dasar tidak memungkinkan mereka untuk memahami lebih jauh. Yang mereka pahami adalah bahwa mereka mendapat uang dari “jasa” yang mereka berikan. Walaupun jumlahnya tidak sebanding dengan apa yang mereka korbankan.

Contohnya adalah pengemis anak-anak perempuan. Beberapa dari mereka tinggal diajak oleh seseorang, kemudian mereka dibayar seribu rupiah. Masih belum diketahui dimana tempat “aktivitas” itu biasa berlangsung. Contoh yang lainnya adalah ketika Udin menunjuk teman laki-laki di sebelahnya. Udin mengatakan bahwa temannya itu sudah biasa disodomi oleh pengamen punk yang ada di perempatan jalan Riau-Merdeka, tak jauh dari BIP. “Dia mah dibayar juga mau, Teh”, tuturnya pada kami.

Uang yang bisa diberikan untuk para pengemis tersebut sudah tidak bersisa lagi. Tidak bisa tidak, wawancara harus diakhiri. Satu hari yang diisi bersama para pengemis anak-anak di BIP pun masih menyisakan banyak pertanyaan: Apakah mereka pernah berpikir untuk protes atas eksploitasi terhadap diri mereka? Atau justru mereka tidak berpikir tentang itu dan menikmati kehidupan mereka? Tidak adakah tindakan dari pihak yang berwenang di kota ini terhadap mereka? Apakah penghasilan dari mengemis benar-benar mencukupi kebutuhan mereka? Sungguh, satu hari bersama Nur dan teman-temannya tidak cukup untuk menjawab semua itu…

Ar Rahman

Pertama kali saya mendengar surat ini adalah ketika saya menjadi makmum solat Magrib di Nurul Fikri Cempaka Putih. Saat itu saya baru mengenal Islam dengan benar. Dan yang namanya “baru”, saya belum banyak tahu tentang surat-surat yang ada dalam Al Quran. Saya terpesona oleh satu ayat yang diulang-ulang dalam surat ini: Fabiayyi aalaaa irobbikuma tukadzibaan, maka nikmat Tuhanmu manakah yang akan kau dustakan? Rima dalam surat Ar Rahman ini begitu indah di telinga saya waktu itu.

Waktu itu saya belum hapal surat itu. Lantas kemudian saya mencoba mencari tahu berapa kali ayat itu diulang dalam surat Ar Rahman itu. Saya baru saja menghitung, jumlahnya tiga puluh ayat. Namun disini saya tidak akan berusaha membicarakan itu (berapa ayat dan lain-lain). Saya akan membicarakan isi dari ayat tadi: Nikmat Tuhanmu manakah yang akan kamu dustakan?

Tugas yang diberikan kepada saya adalah memberi tafsiran atas satu buah ayat yang saya favoritkan. Setelah “berputar-putar” selama seminggu memikirkan ayat apa yang menjadi favorit saya (habis saya bingung, semua ayat rasanya menyentuh dan menjadi favorit saya), saya memilih ayat ini. Terlebih lagi karena ayat ini menyentuh saya di awal pengenalan saya terhadap Islam lebih dalam. Namun karena saya tidak bisa mendapat buku tafsir tentang ayat ini yang bisa saya kutip, saya hanya memberikan tafsiran pribadi tentang ayat ini, dengan segala keterbatasan ilmu saya.

Ayat menyuarakan pertanyaan kepada manusia: Maka nikmat Tuhanmu manakah yang akan kamu dustakan? Ayat ini diulang-ulang hingga tiga puluh kali. Dan yang bertanya adalah Tuhan manusia itu sendiri. Tentu saja pertanyaan ini bukan pertanyaan yang main-main, bukan? Melalui ayat ini Allah hendak memancing manusia agar berpikir tentang segala nikmat yang telah Allah berikan kepada manusia.

Dalam ayat-ayat lain diuraikan sebagian yang telah Allah berikan. Diantaranya kepandaian manusia dalam berbicara, trerciptanya manusia, matahari dan bulan yang beredar pada orbitnya, beranekaragam tumbuhan yang berpasang-pasangan, buah-buahan dan kurma yang berkelopak mayang, biji-bijian yang berkulit dan bunga-bunga yang harum, diciptakannya manusia dari tanah, diciptakannya jin dari api, adanya timur dan barat, dua laut yang bertemu, yang di dalam keduanya terdapat mutiara dan merjan, kapal-kapal besar yang berlayar bagaikan gunung, mahluk-mahlukNya yang senantiasa berdoa sepanjang waktu, manusia dan jin yang diperkenankan menembus langit dengan ilmu, surga dan penggambarannya, rezeki yang diterima setiap mahluk setiap harinya, dan seterusnya, dan seterusnya, yang tidak bisa disebutkan semuanya disini karena tak terhingga jumlahnya.

Dan kita sebagai manusia akan memungkiri dengan cara yang bagaimana? Dengan beralasan bahwa semua rezeki yang diperolehnya semata-mata hanya karena hasil usahanya? Lantas bagaimana dengan sistem pencernaannya yang bekerja dengan, konon, “tanpa sadar”? Bagaimana bisa system pencernaan disebut bekerja “tanpa sadar”, sementara tubuh kita ini benar-benar mendukung semua aktivitas kita dengan keseimbangan yang begitu sempurna? Dari diri manusia itu sendiri bisa dilihat betapa nikmat Allah tiada henti-hentinya diberikan pada manusia.

Ayat ini disambungkan dengan penggambaran tentang surga dengan nikmatnya dan neraka dengan siksa di dalamnya. Ini pun merupakan bukti nikamt Allah yang tak terbatas. Mengapa demikian? Dengan menceritakan tentang surga, Allah menghendaki manusia agar berlomba-lomba mencapainya dengan mencari ridho Allah sebanyak-banyaknya. Dengan menceritakan tentang neraka, Allah menghendaki agar manusia tidak terlena pada dunia sehingga melupakan aturan-aturanNya, apalagi tenggelam dalam maksiat. Itulah salah satu bentuk perlindungan Allah pada manusia. Maka nikmat Tuhanmu manakah yang akan kamu dustakan? Maka nikmat Tuhanmu manakah yang akan kamu dustakan?

Sungguh, dari satu kalimat itu, sudah cukup untuk menyimpulkan apa yang dibahas dalam tulisan ini. Bahkan saya tidak bisa menguraikan kata-kata lebih banyak lagi. Karena dalam kepala saya hanya ada satu kalimat yang senantiasa bertanya, nikmat Tuhanmu manakah yang akan kamu dustakan? Saya belum menjadi hamba yang bersyukur dengan sebenar-benar syukur. Sungguh, saya tidak bisa menghitung semua nikmat itu…

Di Kala Hujan

Senin, 4 April 2005. Sore itu saya baru saja mengajar privat di Gegerkalong. Hari sedang hujan, angkot yang saya tumpangi sedang terjebak macet di jalan Katamso. Mobil-mobil bergerak dengan pelan bagai merayap.

Hujan makin deras saja. Tapi saya sudah menyiapkan payung dan jaket. Jaket sudah saya kenakan, payung sudah di tangan. Tinggal menunggu angkot mendekati pertigaan Katamso-Cikaso. Sambil menunggu, saya menyerahkan ongkos saya dan supir memberikan kembaliannya. Angkot itu masih merayap. Tak lama, hup…, saya turun dari angkot sembari mengembangkan payung saya.

Saya sudah berniat untuk menikmati hujan. Maksudnya berjalan dengan tenang di tengah-tengah hujan, tanpa harus terburu-buru oleh suatu pekerjaan atau janji temu. Sore itu saya merasa sangat santai. Dan saya pun memulai perjalanan saya menuju kos di bawah hujan.

Bandung saat ini sedang memasuki musim pancaroba. Namun hujan terus-menerus mengguyur kota. Walau pagi cerah, di siang atau sore harinya mesti hujan. Tapi justru saya senang. Sangat senang.

Entah mengapa, saya senang pada hujan. Hujan yang saya maksudkan di sini tidak termasuk hujan yang disertai badai. Hujan yang biasa saja, seperti yang biasa terjadi di Bandung selama ini. Barangkali karena suasana khas yang menyertai hujanlah saya senang pada hujan. Suasana yang sejuk, “ramah”, tenang, langit menjadi redup dan seterusnya, membuat saya terhanyut dan kadang tak ingin hujan berhenti.

Saya menyusuri pinggiran jalan di sisi yang ada toko-tokonya. Saya melewati bengkel, warnet, toko perlengkapan ABRI, warung kelontong, café, dan lain-lain. Payung agak disisihkan karena saya berjalan di bawah teras toko-toko itu. Baru kemudian saya berjalan di pinggir jalan setelah deretran toko itu habis. Di ujung deretan itu terdapat bengkel motor, tempat reparasi alat elektronik, dan toko pembuatan kerangka besi untuk berbagai keperluan, yang tidak punya teras untuk berlindung. Maka saya pun menggunakan payung saya kembali. Di penghabisan deretan, terdapat jalan Pramuka Raya. Saya berbelok ke situ.

Tas ransel yang saya gantungkan di dada dalam posisi yang nyaman sekarang, setelah saya perbaiki beberapa kali agar tidak membuat saya susah bernapas. Saya melewati jembatan, lalu saya mendapati komplek tempat penjualan tanaman. Saya memandangi tanaman-tanaman yang berjejer di tempat penjualan secara sekilas. Mencoba mencari-cari mawar. Kalau ada, barangkali saya akan membelinya, barangkali tidak. Namun ternyata tidak saya dapati. Saya pun berlalu. Di perempatan, saya berbelok, mengambil jalan pertama di kanan. Dari awal jalan ini, saya mengingat-ingat peristiwa yang saya alami hari ini dan mulai memikirkan kenapa saya suka hujan.

Saya pernah tinggal di empat kota yang cuacanya tidak sesejuk di Bandung: Bandar Lampung, Jakarta, Semarang, dan Bekasi. Pembandingnya adalah di kala siang hari. Udara di Bandung tidak akan membuat saya berkeringat seperti di empat kota tadi. Bahkan saya merasa nyaman. Di Jakarta, bahkan pagi hari pun saya merasa gerah (saya mengalaminya ketika sedang mudik ke sana; orang tua saya sekarang saya berdomisili di sana ). Dan, pyur…, kaki saya terbenam dalam genangan air. Karena terlalu asyik memperhatikan suasana di sekeliling saya sambil merenunginya, saya tidak memperhatikan jalan yang saya lalui. Ini pun sudah yang kesekian kalinya. Jadi saya tidak mempermasalahkannya.

Fenomena di kala hujan kadang membuat saya terdiam dan merenung. Saya sudah sering memperhatikannya. Namun entah apakah semua orang pernah menyadarinya betul-betul, saya tidak tahu. Ketika hujan tiba, jalanan menjadi lebih sepi dari orang yang berlalu-lalang di jalan. Yang bermotor menepi di tempat yang teduh. Hingar-bingar percakapan tidak terdengar, digantikan oleh suara tetesan hujan. Yang ada hanya jalanan yang lengang dan tetesan hujan. Semua mahluk seakan menyingkir dengan sukarela maupun terpaksa, mempersilakan sang hujan untuk lewat. Persis seperti yang sedang saya alami.

Padahal, hujan hanya terdiri dari kumpulan air bukan? Namun manusia tampak berupaya sekuat tenaga “melindungi diri” dari terpaan hujan ini. Ternyata dalam hujan terdapat kekuatan yang tidak bias diremehkan oleh manusia. Ah……., manusia lagi-lagi menunjukkan kelemahan dan kekerdilannya dibandingkan dengan mahluk Allah yang lain. Hanya oleh sekumpulan hujan kita menyingkir. Termasuk saya. Saya tidak akan bisa menikmati hujan kali ini bila saya tidak membungkus badan saya dengan jaket tebal untuk menahan dingin dan payung untuk menahan tetesan hujan. Betapa manusia tidak bisa sombong bila dihadapkan dengan kenyataan ini. Namun memang tidak semua orang mau mengakui kelemahan manusia yang satu ini.

Tanpa saya sadari saya sudah sampai pada jalan Wiranta, jalan tempat kosan saya berada. Saya berbelok ke kiri untuk mempersingkat jarak tempuh menuju kosan, melewati mesjid. Dan pada saat itu, di depan gerbang mesjid terdapat sekelompok pria yang nampaknya baru saja selesai menunaikan solat Asar. Mereka memblokir jalanan yang tidak terlalu lebar tersebut. Mereka memperhatikan saya. Karena merasa diperhatikan, saya segera merendahkan payung saya untuk menutupi wajah saya. Dan langkah saya pun diperlambat, menunggu mereka berjalan. Dari balik payung saya, saya menyaksikan betis-betis pria yang terlihat karena pemiliknya mengangkat sarungnya tinggi-tinggi, agar tidak basah terkena air hujan. Saya tersenyum simpul. Bukan karena bahagia! Namun lebih dikarenakan pemandangan itu saya anggap lucu. Apalagi ada yang menaikkan sarungnya hingga ke paha. Tapi saya bukan dengan sengaja memelototi orang itu. Saat itu dia sedang masuk ke rumahnya yang memang tidak jauh dari mesjid.

Masih banyak yang berjalan di depan saya, namun mereka kemudian berbelok ke kiri, ke sebuah gang. Saya kembali sendiri di jalan itu. Tak lama saya sampai di depan pintu kosan saya. Saya mengeluarkan kunci dan membuka pintu. Kemudian saya masuk dan mengucapkan selamat tinggal pada hujan di luar, untuk kembali ke lubang perlindungan saya yang nyaman.

Wednesday, April 06, 2005

Surat Kaleng di Internet

Hari Senin tanggal 4 April kemarin saya membuka pesan yang ada di buletin board Friendster saya. Berikut adalah isinya:

i have to pass this thing .....
its for u to judge if this is true....
Yo! I'm real sorry but this one scared me
I just had to send it out... Now, that you're
Reading it...there's no turning back!!!...
I read this chain letter and I thought It was
some stupid joke, but it wasn't this FU** is
Really true!!!! It's been haunting me for as
long as I can remember!!!!...
-Rick, 18, U.K.

Hey! Surat kaleng ini awalnya dikirimkan ke
mail gw, pertamanya gw tdk menggubrisnya...
Tapi gw benar2 menyesal telah
memandangnya sebelah mata, gw harus
pindah rumah dan berharap semua akan
berakhir...
-Alin, 25, J-town

Ya, ya, ya... sayang sekali bagi mereka yg tdk
perhatian. Aku mengirimkan surat ini ke
banyak orang dan tebak apa yg terjadi....
Setelah beberapa hari, aku menjadi manager
perusahaan tempat aku bekerja...
-Indra, 24, Sby

Aku dulunya adalah seorang wanita karier yg
sukses dengan 2 anak dan seorang suami
yg baik, tp skrng hidupku hancur...
Semua krn surat kaleng ini, awalnya aku
mengabaikannya, lalu hal2 yg seram mulai
menghantuiku, lebih parahnya suamiku
menceraikanku dan membawa 2 anakku
karena dia mengira aku sudah gila!!!
-Nia, 31, Yk

Yo! hai teman! Gw dulunya adalah seorang
pecundang di skul dan bodoh lg... gw
mendapat surat kaleng ini dan
mengirimkannya kepada knalan2 gw dan stlh
beberapa hari...Whoa!!!...Semuanya menjadi
sangat menyenangkan... dan cewek paling
cantik di skul mengajak gw jalan... Skrng gw
benar2 mjd seorang yg paling beruntung di
dunia...!!!
makasih jg buat surat ini skrng gw jg mjd
lebih pintar... hidup gw benar2 mjd hebat!!!!
-Roni, 16, J-town

Once your reading this you must do exactly
what it tells you to do...this is no joke...If you
ignore this you will regret it!!!...

> Here it goes!!!...

> A little girl named Chelsy McCann was killed
in 1933 by a homical maniac who buried her
alive while chanting a satanic chant "tomo
Sama te blistat" those were the words
spoken, and now u have read them...anyone
who reads the chant will meet a small child in
the middle of the night she will be on your
ceiling as you sleep. She will suffocate you as
she was suffocated or maybe she will show
up inside your bathroom when your taking a
bath wearing a white shirt with blood stains
on it and kill you...unless you send this to at
least 66 people for 6 days, so she will leave
you in kindness and in return good things will
happen to you...

Its up to u now.....

Yang pertama kali saya rasakan adalah perasaan ngeri dan takut. Saya memang tidak kuat terhadap hal-hal yang berbau horor. Waktu nonton The Ring aja saya gak kuat. Kadang-kadang ditonton, kadang-kadang tutup mata, sangking takutnya. Tapi setelah itu, saya menekankan pada diri saya kalau film itu hanya "kebohongan". Bukankah ketika kita mengeluarkan uang untuk menonton film itu sama artinya dengan mengeluarkan uang untuk dibohongi?

Ok, Ales bukan mau ngebahas itu. Yang mau dibahas itu tentang isi email di atas. Ada bbrp hal yang mau dibahas:

1) Apa bener klaim dari email itu, bahwa arwah gadis kecil itu bakal gentayangan di rumah orang yang cuek terhadap email itu? Barangkali cerita ttg terbunuhnya gadis kecil itu barangkali bener. Dan barangkali bener juga ada yang digentayangi.
Tapi lagi2 kita gak tau sama sekali kan?

2) Ada orang2 yang ngasih testimoni dlm email itu. Ada yang ngaku hidupnya ancur berantakan gara meremehkan "peringatan" email itu. Sisanya hidup bahagia karena mereka patuh dan tunduk pada anjuran email itu. Jadi, mereka yang ngikutin anjuran email itu percaya, bahwa yang bisa merubah hidup mereka menjadi lebih baik, yang bisa memberi ketenangan hati, yang bisa ngasih rezeki, dll, adalah email
besarta klaimnya itu! Bukan Allah, guys! Ales memang berbicara dalam konteks Islam yang Ales yakini. (I beg UR pardon, kalo ada yang bukan muslim) Itu adalah jebakan syirik yang sangat halus dan berbahaya banget. Mata hati mereka dikaburin dengan rasa takut terhadap gangguan arwah. Mereka jadi melenceng jauh dari konsep Allah dan mahluk ciptaanNYA.

3) Saya sama sekali gak memungkiri keberadaan jin dan syetan lho. Saya juga gak memungkiri bahawa BISA AJA satu saat syetan akan mengganggu saya dengan gangguan yang persis seperti diklaim email itu. Tapi itu adalah cobaan terhadap keyakinan manusia terhadap Tuhannya. Jadi mohon perlindungan padaNya, bukan pada email itu (Dengan mengirim email itu ke 66 orang dalam 6 hari. Angka "666" itu angka yang menjadi simbol setan dalam satu kepercayaan tertentu. Saya kurang banyak tau soal itu.)

Arwah orang yang udah meninggal itu ada di dalam alam yang namanya "alam barzakh". Jelas alam itu beda dari alam fana kita. Dalam "kapling" yang diberikan bagi setiap jiwa manusia, tiap jiwa itu akan mengalami satu diantara dua: Dapet siksa kubur atau nikmat kubur. Dan mereka akan tetap di alam itu sampai hari kiamat tiba untuk dibangkitkan.

Jadi, kalo ada yang pernah baca komik tentang alam kubur, dimana jiwa manusia ditanya malaikat, dst,di dalam kuburan, komik itu tidak tepat. Yang tepat adalah bahwa jiwa manusia yang udah meninggal itu gak ada di dalam Taman Permakaman Umum, jasadnya doang yang ada di situ. Alam barzakh ada dimana? Hanya Allah yang tau. Ini kutipan surat Al -'Isra ayat 85 dalam Al-Quran:

Mereka bertanya padamu (Muhammad) tentang ruh.
Katakanlah, "Ruh itu termasuk urusan Tuhanku,
sedangkan kamu hanya diberi pengetahuan yang amat
sedikit."


Kalo ada bayangan hantu atau roh halus yang melakukan penampakan di depan mata manusia, bisa dipastikan kalau itu bukan arwah manusia yang gentayangan. PASTI itu salah satu di antara dua: Jin yang menyerupai manusia untuk suatu urusan tertentu atau syetan mau yang mengganggu batin manusia. Boro-boro mau gentayangan, wong menjawab pertanyaan dari malaikat Munkar dan Nakir aja (kebanyakan manusia) udah belepotan. Begitulah yang terjadi sebenarnya.

Jadi, sebagai muslim (apalagi yang anak kuliahan), mbok ya jangan nelen mentah2 berita yang sampe. "Gimana perutnya mau sehat kalo makanan gak dipilih-pilih dulu, asal telen aja?".Harus bisa dibedain mana yang "main ingredients", mana yang "additional seasons". Jadi, cek dulu kebenarannya, Ok?

Monday, April 04, 2005

"Kau & Aku Pagi Ini"

Klip!
Mataku terbuka...
Uh..., masih mataku masih terasa berat

Kuarahkan mataku ke atas, ke jendela
Suram...
Cahaya langit yang redup membanjiri kamar ini

Kuregangkan otot-ototku

Setelah beberapa saat baru kusadari
kau masih ada di atasku
Dirimu melindungiku
dalam hangat pelukmu
Mendekap erat diriku
Nyaman sekali...

Batang mawar di depan jendela menari dengan keras
Berputar-putar kebingungan dipermainkan bayu
Kasihan si mawar
Dipermainkan begitu rupa

Bagaimana bila kita biarkan saja bayu menunggu di luar
Aku sedang tidak ingin berurusan dengannya pagi ini
Apalagi melihat perbuatannya terhadap mawar

Redupnya langit mempertegas satu hal:
Matahari tidak bisa datang ke sini pagi ini
Ah..., biarlah
Kita tidak bisa memaksa matahari untuk mampir terus,
bukan?

Di sini hanya ada kita berdua
Ya!
Kau dan aku
Maka kini aku yang balas memelukmu
bahkan lebih erat lagi
Selimut biruku...

(Revised at April 4th, 2005)