Monday, February 21, 2005

Hampa

Ada saat-saat ketika hati kita terasa hampa. Setiap orang pernah merasakannya, disadari maupun tidak. Penyebabnya bisa bermacam-macam. Entah apakah karena sesuatu yang begitu mengguncang jiwa kita, ataupun karena sesuatu yang begitu halusnya melanda hati, sampai-sampai kita tidak tahu kenapa kita tiba-tiba merasa hampa.

Satu hal yang jelas, perasaan itu mengganggu hati kita, jiwa dan raga. Kadarnya bisa “biasa saja”, “sedikit” mengganggu, sampai “sangat” mengganggu. Hati kita jadi tidak tenang. Diri ini gelisah. Pokoknya rasa ini tidak mengenakkan hati. Bahkan kalau hati bisa berbicara dengan bahasa manusia, tentu dia akan berteriak minta tolong kepada kita, agar dia dibebaskan dari rasa ini.

Ya. Rasa ini akan membelenggu kita sampai kita menemukan kunci untuk melepaskannya. Kadang kita harus berusaha dengan susah payah untuk mendapat kunci itu. Namun terkadang juga kunci itu sangat mudah didapat, sehingga kita tidak merasakannya ketika belenggu yang bernama “hampa” itu sudah lepas dari hati kita.

Satu saat, di tengah-tengah hiruk-pikuk dunia, satu ilham ditiupkan ke dalam pikiran saya. Inilah salah satu bentuk perlindungan Allah kepada manusia!!! Begitu bunyi ilham yang saya dapat. Dan ilham itu tidak begitu saja datang tanpa sebab. Karena saat itu pikiran saya sedang berada dalam suatu rangkaian proses pemikiran yang panjang tentang penyebab hampanya hati.

Awalnya saya sedang berpikir, kenapa diri ini begitu menyebalkan di saat hati terasa hampa? Kenapa saya harus merasa gelisah dan tak menentu di saat hati ini hampa. Mau berbuat sesuatu rasanya serba salah dan tidak enak. Kenapa, kenapa, kenapa?! Begitu protes saya dalam hati.

Setelah saya merasa lebih tenang, saya mulai memikirkan apa sebabnya saya merasakan kehampaan. Kemudian saya mulai berpikir tentang hampa itu sendiri, tidak lagi memikirkan tentang betapa tidak enaknya saya merasakan hati yang hampa.

Ketika manusia merasakan kehampaan dalam dirinya, dia memiliki dua alternatif penyikapan: Dia akan merasa tidak berdaya yang diikuti dengan hilangnya semangat. Atau dengan kata lain, dia akan membiarkan begitu saja perasaan itu, walaupun kian hari kian menumpuk. Yang kedua , dia akan berusaha mengenyahkannya sesegera mungkin. Apapun reaksinya, pada akhirnya dia akan berupaya untuk membebaskan diri dari hampa, apapun caranya. Bila dia bisa menghadapinya dengan tenang, maka dia akan mencari obatnya dengan tenang pula. Namun bila dia tidak dewasa dalam menyikapinya, bisa jadi dia malah mengobatinya dengan sesuatu yang malah merusak dirinya. Lebih parah lagi bila dia memilih untuk melarikan diri ke arah kematian! Naudzubillah…
Well, sampai di situ, saya menjadi sangat tertarik dengan konsep yang saya simpulkan sendiri ini. Maka, pemikiran ini pun berlanjut.

Sesungguhnya, segala sesuatunya itu berasal dari Allah. Terjadi sesuai dengan izinNya. Termasuk rasa hampa di hati. Dengan memberi rasa ini ke dalam hati manusia, Allah berkeinginan agar manusia sadar bahwa ada yang salah dalam langkahnya di dunia. Disadari atau tidak. Rasa hampa inilah yang menjadi semacam alarmnya. Alarm ini akan berbunyi ketika diri kita sudah mulai melenceng dari ketentuanNya. Bisa dikatakan bahwa rasa hmapa merupakan salah satu bagian dari naluri kita.

Lebih lanjut lagi, bila Allah tidak memberi kita rasa itu, apa jadinya hidup manusia? Bila manusia berbuat salah, hatinya tidak merasakan itu sebagai suatu kesalahan, karena hatinya merasa biasa-biasa saja. Bisa Anda simpulkan sendiri bagaimana kelanjutan hidup manusia dengan kondisi seperti itu. Itulah yang saya maksud dengan perlindungan Allah. Agar kita tahu kapan kita mulai atau bahkan sudah melenceng. Maka bersyukurlah karena kita diberi rasa itu. Dengan demikian kita bisa merasakan benar dan salah.

Tidak bisa dipungkiri lagi bahwa dalam melangkah, manusia selalu mempertimbangkan apa yang dirasakan di dalam hatinya. Benarlah bila dikatakan hati itu ibarat cermin bagi diri kita. Cermin bagi setiap pilihan dalam hidup kita.

Setelah melakukan proses memikirkan tentang “hampa” itu, saya menengok ke sekeliling saya. Ternyata banyak sekali manusia yang sudah membungkam alarm hampanya. Maka saya tak heran bila dunia menjadi seperti sekarang ini. Namun saya bukannya menafikkan orang-orang yang alarm hampanya masih berada dalam kondisi baik lho…
Sekarang mari kita tilik kembali, kapan terakhir kali kita merasa hampa. Atau jangan-jangan saat ini kita sedang merasakan itu? Bila iya, maka segera cari penyebabnya. Karena, bisa jadi hal itu merupakan tanda bahwa kita sudah mulai berpaling dariNya!

Monday, February 14, 2005

Merenungi Tua

Bismillah....

(12 Febuari 2005)
Saat itu aku baru saja memasukkan suapan pertama dari lontong padang yang ada di hadapanku, ketika seorang nenek mendekati penjual lontong padang. Saat itu juga aku berhenti memikirkan makananku, karena yang kulihat benar-benar pantas untuk kuperhatikan. Ya, nenek itu yang kuperhatikan.

Tingginya sekitar 155 cm. Beliau memakai baju terusan panjang dan penutup kepala dari bahan wol, seperti ciput untuk yang digunakan perempuan berkerudung. Beliau memesan lontong padang seharga seribu rupiah saja (harga seporsinya seribu lima ratus rupiah). Namun dari semua itu, kondisi fisiknyalah yang benar-benar membuatku berhenti untuk mengamatinya. Dengan jelas terlihat tanda-tanda kelemahan usia tua: Rambut memutih, badan gemetar, bibirnya berkedut-kedut sesekali, dan secara keseluruhan badan itu terlihat ringkih walau sedikit gemuk. Betapa nikmat sehatnya sudah entah sepersekian lagi yang tersisa di jasad itu...

Lantas aku membandingkannya dengan keadaanku. Walau mata kanan sudah minus setengah, mata kiri minus seperempat ditambah silindris seperempat, hatiku sudah terkena virus Hepatitis B, gampang kena masuk angin, perut menjadi lebih rapuh (nggak kuat minum susu yang kental), dan semua penyakit itu insya Allah masih bisa sembuh, aku masih memiliki lebih banyak nikmat sehat! Aku masih bisa menikmati tidur yang enak, makan yang enak, bernafas yang enak (itu indikasi kesehatan yang bagus). Jalanku masih gagah dan cepat, gerakanku masih lincah, semangatku masih tinggi, pikiranku masih tajam, dan berbagai nikmat lainnya yang sungguh tak dapat kuhitung bila saja aku MAU untuk memikirkannya lebih sering dan bersyukur karenanya.

Hari Rabu tanggal 9 Febuari yang lalu, waktu kembali melewati tanggal 1 Muharram. Berkurang lagi jatah umur yang kumiliki di dunia ini. Namun aku tidak tahu apakah diriku ini sudah berbuat yang terbaik bagi diriku. Tenggelam dalam alam imajinasi yang tidak ada habisnya, mengangankan sesuatu namun hanya bisa berangan, berbuat sesuatu setengah-setengah, menjadi pegawai bagi jasad sendiri. Itulah diriku sekarang ini.

Padahal orang-orang yang dijamin sukses dunia dan akhirat adalah mereka yang BISA menjadi manajer bagi diri mereka sendiri. Ya, mereka yang bila diberi kendaraan mahir dan paham betul akan kendaraan itu. Bukannya malah bengong ketika kendaraan itu jalan seenaknya atau malah mengiyakan apapun jalur yang ditempuhnya. Gak logis kan kalau ada kendaraan yang bisa jalan sendiri seenaknya tanpa disetir pemiliknya?

Tapi, sayang sekali, terlalu banyak orang yang justru jadi pegawai bagi diri sendiri. Menyia-nyiakan masa muda dan masa sehatnya. Contohnya? Silahkan direnungi oleh diri sendiri. Kalau aku? Aku akan terluka dalam bila aku bisa ingat semua saat ketika diriku ini disetir oleh badan sendiri: Malu, takut terkena azab yang pedih di akhirat, bersyukur karena Allah masih menutupi aibku, khawatir bila aku lepas kontrol atas diriku lagi.

Sekarang masih ada waktu bagiku. Dengan segala kekuatan dan kelemahan ini, aku berusaha untuk menggantikan (semoga diterima oleh Allah) semua keburukanku. Dan semoga Allah mengganti semua keburukanku dengan kebaikan. Karena Allah sendiri berfirman dalam surat Hud ayat 114: "...Perbuatan-perbuatan baik itu menghapus kesalahan-kesalahan. Itulah peringatan bagi orang-orang yang selalu mengingat (Allah)" . Amin...
***